Kamis, 01 Desember 2016

Agar segala hajat baik mudah dicapai - A. R. Rif'an

Kutipan ini, diambil dari buku yang sedang saya baca. Saya tambahi sedikit, semoga tidak mengurangi nilai masing-masing poinnya.

Ahmad R. Rif’an dalam bukunya, menjelaskan ada 5 cara, agar segala hajat baik mudah dikabulkan oleh Allah SWT. Yakni,

1.       Menyelaraskan impian

Ketika impian hanya dimiliki oleh satu orang, maka gelombang yang dipancarkan pun akan kecil. Jamakkan impian dengan sebanyak mungkin manusia. Selaraskan, karena semakin banyak yang mengupayakan mimpi tersebut, semakin besar peluang untuk mewujudkannya.

2.  Hadirkan manusia-manusia keramat

Siapa saja manusia keramat itu? Kedua orang tua, anak yatim, fakir miskin, orang yang terzalimi, ulama dan orang shaleh.
Ridha Allah ada bersama ridha orang tua. Kelak di surga, kedekatan Rasul dengan anak yatim ibarat dua jari yang saling berjejer. Santunan pada fakir miskin, bisa melejitkan potensi pengabulan hajat. Sementara, doa orang terzalimi adalah salah satu doa yang mustajab. Juga, doa ulama dan orang shaleh mudah dikabulkan. Karena, tabir antara ulama dan orang shaleh dengan Allah sangat tipis.

3. Action

Tidak akan berubah nasib suatu kaum, sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri (Ar – Ra’d[13:11]).
Kerasnya upaya diri, adalah pembuktian bahwa Anda serius dengan apa yang anda cita-citakan.

4. Gratitude (Rasa Syukur)

Magnet terbesar di alam semesta ada pada diri setiap manusia. Adalah perspective, dimana manusia akan bertindak sesuai pemikirannya. Banyak penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan. Banyak literature, bernuansa islami maupun umum yang membahas tentang ini. Kuantum ikhlas karya Erbe Sentanu,misalnya. Atau The Secret oleh Rhonda Byrne.
Ketika memimpikan suatu hal, posisikan bahwa Anda sudah meraihnya. Lalu syukuri, dan, saksikan semesta mendukung!

5. Pray

Cara meraih sukses dengan perantara langit, tidak bisa ditinggalkan. Rutinkan tahajud, berdoa di waktu dan tempat mustajab, doa orang tua, puasa sunah, perbanyak bertaubat.

Dan, salah satu waktu mustajab untuk berdoa adalah, pada hari jum’at.

Jum'at barokah ya 
J

Jumat, 07 Oktober 2016

IT Camp 2016, "IoT Is your Smart Future".



Jadi, ini adalah foto peserta IT Camp 2016. Camp yang dilaksanakan oleh KeRMIT (Kelompok Remaja Melek IT) ini sudah memasuki episode ke-enam, setelah peluncuran episode perdananya pada tahun 2009 silam.



Camp yang bertajuk “Internet Of Things is your smart future” ini mengundang pakar-pakar IT handal, termasuk Pak Teddy Mantoro yang sudah mengantongi gelar Profesor pemberian Universitas Teknologi Malaysia dan gelar-gelar kehormatan lain di bidang computer Science.  Juga Pak Onno W Purbo, Marcelus Ardi Winata, Johar Alam Rangkuti dan Adiatmo Rahadi yang kesemuanya adalah tokoh-tokoh IT Indonesia berlevel nasional dan internasional.

Seperti judulnya, IoT adalah teknologi dunia terbaru yang menggabungkan antara teknologi elektro dan informatika. Automasi besar-besaran adalah output dari teknologi ini. Dimana setiap benda, entah hidup atau benda mati akan memiliki “identity (Id)” nya sendiri dan dapat dikendalikan melalui internet. Luar biasa bukan?

Dibalik itu semua, muncul pertanyaan tentang bagaimana menyiapkan human resource agar betul-betul siap dengan dampak yang mungkin akan ditimbulkannya, misal, lapangan kerja yang berkurang. Toh ini sudah menjadi masalah krusial yang terpampang di depan mata, bukan?

Jadi, demikianlah kegiatan ini ditujukan. Satu wadah yang dibuat untuk melahirkan “Kang Onno”, “Teddy Mantoro” atau “Mas Jo” berikutnya. Yaitu, mereka-mereka yang kreatif, dan menggunakan ilmunya untuk kesejahteraan khalayak ramai. Melalui kegiatan Kelompok Remaja Melek IT ini, peserta diajak dan diajarkan untuk mengubah pola konsumtif menjadi produktif. Menggali wawasan, membangun ide dan mempersiapkan nya sematang mungkin. Terbukti dari salah satu sesi kegiatan, dimana peserta ditantang untuk memaparkan ide usaha kreatifnya di bidang IoT.

Untuk saya, kegiatan ini dibuat dengan efek ketagihan. Cara penyampaiannya yang interaktif, pembicara yang menyatu dengan peserta (non stop sampai tengah malam), hadiah-hadiah yang “wow-bingits” mulai dari Printer keluaran Epson terbaru, Wireless Router Linksyss yang katanya malah belum di-launching, perangkat arduino dengan modul yang berbeda-beda, Ubiquiti Network Nano Beam dan macam-macam hadiah hiburan lainnya ini, membuat peserta betul-betul balik modal. Entah dengan membawa pulang pengetahuan, pengalaman atau hadiah yang harganya jutaan rupiah ini.

Fakta uniknya, dari beberapa pemateri, konon salah satunya adalah “mantan” peserta IT camp ini. Selain beliau, ada juga peserta yang tidak melewatkan satupun dari episode IT Camp ini. Yang baru jadi peserta tahun ini, sepengetahuan saya sampai hari ini seminggu setelah acara selesai, sudah ada beberapa yang melakukan eksperimen nya sendiri. Ada yang membuat automasi saklar lampu menggunakan sensor suara, automasi saklar lampu menggunakan wifi, dan ada juga yang betul-betul baru mencoba merangkai perangkat arduinonya.

Whatever it is, let’s fire it up!! 

Selasa, 07 Juni 2016

Yogyakarta, Mei 2016


Mei 2016 dibuka dengan liburan panjang di minggu pertamanya. Hari besar keagamaan yang jatuh di hari kamis dan jum’at menjadikan minggu itu sebagai sasaran empuk jadwal wisata ke berbagai daerah di seantero Indonesia.

Indonesia tengah ramai, dengan kendaraan-kendaraan yang memuat para wisatawan. Pesawat, kereta, dan bus, bahkan banyak juga yang menggunakan sepeda motor. Turis local maupun asing, berbaur dalam agenda yang sama, mengeksplor keindahan negeri Indonesia.

Saya juga. Rencana bertandang ke kota Yogyakarta memang tergolong dadakan. Hasilnya, saya sudah kehabisan tiket baik kereta maupun bus. Pesawat? Bukan pilihan untuk perjalanan jarak dekat tapi popular seperti Yogyakarta.

Yogyakarta memang sudah tenar dari zaman dahulu. Tapi, pembuatan film AADC yang berlokasi di beberapa tempat wisata di daerah istimewa ini, memicu minat wisatawan, yang kebanyakan adalah muda mudi untuk melihat langsung dan mengabadikan momennya masing-masing di sana.

Di malam keberangkatan, saya juga sempat dibuat kesal. Bus yang dijadwalkan berangkat pada pukul 8, ngaret sampai pukul 11 malam. Ya, macetnya Jakarta menjadi kendala sendiri. Tambah lagi, bus yang saya tumpangi adalah bus pariwisata, atau bus tembak.

Tapi, ada hikmahnya juga. Sembari menunggu bus, saya sempat berkenalan dengan beberapa calon penumpang, dengan tujuan yang sama dan ada juga yang berbeda. Sempat bertukar informasi dan bertukar kontak juga. Pemandangan lain yang mengusik saya, adalah beberapa rombongan yang memanggul carrier berbagai ukuran. Para pendaki itu membuat saya cemburu, saya rindu mendaki.
Pukul 11, akhirnya bus lepas landas. Seperti yang diprediksi, jalanan macet luar biasa. Sempat beberapa kali para penumpang berjalan kaki saking penatnya di dalam bus yang tidak bisa bergerak sama sekali. Normalnya, perjalanan memakan waktu sekitar 10 jam saja. Maksimal 12 jam. Tapi, perjalanan kali ini memakan waktu 23 jam! Yuhuuu, jadwal saya hilang satu hari.
Di sekitar Brebes

Karena sudah diagendakan, keesokan harinya saya langsung berangkat lagi menuju kota Ponorogo. Kota dimana adik saya sedang menuntut ilmu di salah satu pesantren ternama di tanah air, Pesantren Gontor. Kota yang terkenal dengan reog ini, memang memiliki banyak pesantren. Di sepanjang jalan, saya melihat banyak santri dengan usia yang beragam. Ada yang sepertinya masih di sekolah menengah pertama atau sekolah menengah atas.

Saya tiba di Pesantren tepat sebelum adzan ashar berkumandang. Dan baru sempat melepas rindu sekitar pukul 4 sore. Maklum, jadwal santri memang teramat padat. Selama 18 jam di sana, jika ditotal, saya hanya bias bertemu selama 1.5 jam dengan adik saya. Selebihnya, saya hanya berkeliling atau memilih tidak kemana-mana agar tidak melewatkan jam istirahat santri yang hanya sekitar 30 menit itu saja.

Pertama bertemu, saya sempat merasa asing dengan wajah adik lelaki saya ini. Tubuhnya tinggi, gempal dengan rambut pirang yang dicukur rapi. Dia sudah dewasa. Terakhir saya bertemu, satu tahun lalu, kami masih sama tingginya. Haru saya melihatnya. Sejak kecil, dia tidak pernah manja sama sekali. Tidak pernah bertingkah yang aneh-aneh,ataupun nakal seperti anak lelaki seusianya.
Sebaliknya, ia selalu berprestasi. Untuk masuk ke pesantren nomer satu di Indonesia ini saja, dia menduduki peringkat ke – 2 terbaik, mengalahkan ribuan pedaftar lainnya. Sampai sekarangpun, prestasinya masih masuk di 3 terbaik se angkatannya. Terimakasih dek :’)

Saya pamit esok harinya. Rencana saya berikutnya adalah Goa Gong Pacitan. Kota yang merupakan tanah kelahiran presiden Indonesia yang ke-6 ini terletak di ujung barat daya Provinsi Jawa Timur. Daerahnya yang berbatasan langsung dengan samudera hindia membuat pacitan kaya dengan pantai-pantai dan gua-gua yang indah. Salah satunya adalah goa Gong, yang dinobatkan sebagai goa terindah se-Asia Tenggara.
Goa Gong


Akan tetapi, niat saya ternyata tidak kesampaian. Dari penduduk setempat saya baru tahu, ternyata untuk mencapai goa gong, dibutuhkan waktu setidaknya 3-4 jam. Sementara, jam sudah menunjukkan pukul 10 ketika saya sampai di terminal, dan saya tidak ada rencana untuk menginap.
Akhirnya, saya putuskan untuk kembali ke Yogya saja. Yah, sampai jumpa lain waktu Pacitan J
Dari ponorogo, saya harus menggunakan bus kecil ke Madiun, lalu menggunakan kereta ke Yogyakarta. Ongkos yang dikenakan sebetulnya hanya 8 ribu, untuk sampai ke terminal. Beda cerita jika ke stasiun. Aturan di sini, bus tidak boleh masuk kota. Jika masuk kota, biasanya akan dimintai ongkos lebih oleh supir, yaitu sekitar 20 ribu.
Di Madiun, saya tidak sempat berkeliling. Pertama, karena waktu mepet, kedua karena wisata di kota ini rata-rata hanya bangunan bersejarah dan museum saja.
Tugu di dekat Stasiun Madiun


Saya suka stasiun, bandara, dan terminal-jika rapi. Tempat-tempat ini, selalu memberi kesan perpisahan dan pertemuan.
Stasiun Madiun

Tempat duduk saya terletak di deretak terakhir. Di belakang deretan tempat duduk sebuah keluarga yang katanya baru saja main ke tempat saudaranya di kota Madiun. Sepasang anak kecil ini, bersepupu, usianya sekitar 6 tahunan. Yang satu sudah masuk SD yang satunya masih duduk di bangku TK.


Riska dan Naura

Sepanjang perjalanan, keduanya tak henti bercanda, bernyanyi, tertawa, saling memeluk, bahkan tidak ragu-ragu mencium. Anak sekecil itu membuat saya cemburu. Gelak tawa mereka membuat saya rindu masa kecil. Rindu sepupu-sepupu saya, rindu teman-teman saya nun jauh di tanah sumatera sana. Ah, kami tidak pernah lagi punya waktu bahkan untuk sekedar berkirim kabar saja.
Melihat saya tersenyum pada mereka. Keduanya malu-malu menyapa saya. Bertanya nama saya. Bermain-main cilukba dengan saya. Ketika keduanya bertanya nama saya, tiba-tiba si kakek – biasa nya dipanggil kakung, berkata,

“Turun, salam tantenya” kata beliau tegas. Spontan keduanya turun dan menyalami saya.
Hati saya bergetar. Tata krama seperti ini, selalu dipelihara oleh orang jawa.

***
Waktu sudah menunjukkan pukul 4 ketika saya tiba di stasiun tugu. Letak stasiun ini bersebelahan dengan Malioboro, jalan yang mejadi icon Daerah Istimewa Yogyakarta, dan juga diangkat menjadi salah satu lagu oleh Doel Sumbang, seorang artis era 80-an.

Satu hal yang wajib diketahui, kota Yogyakarta tidak menyediakan angkutan kota (angkot). Pilihan transportasi hanya berupa ojek dan andong. Jika hendak berwisata dan tidak membawa kendaraan pribadi, pilihan satu-satunya adalah menyewa kendaraan seperti sepeda motor atau mobil. Harganya variatif berdasarkan tipe dan usia motor, juga rentang waktu. Saya dikenakan 35 ribu untuk Mio keluaran 2014 selama 19 jam.

Setelah menyewa motor dan istirahat sejenak, saya ditemani seorang teman, langsung berangkat ke bukit Bintang. Bukit yang terletak di kaki gunung kidul ini ramai dikunjungi oleh wisatawan yang hendak menikmati pemandangan Yogya. Selain warung-warung makan, ada juga penjaja jagung bakar. Sebelum masuk ke warung makan, kami memutuskan untuk mampir di salah satunya.
Sembari menunggu pesanan, kami langsung mengambil posisi di pinggiran jalan yang tampaknya sengaja dibuat lebih tinggi agar dapat digunakan sebagai tempat duduk sembari menikmati pemandangan kota. Ini mengingatkan saya pada satu tempat di Kota Bandung, “Cartil”, biasa orang-orang menyebutnya.

Cartil adalah nama salah satu desa di Kota Bandung. Letaknya yang di atas bukit, membuat daerah ini dijadikan sebagai tempat wisata bagi orang-orang yang ingin melepas penat atau sejenak beristirahat dari kebisingan kota. Fakta ini lalu dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk membangun bisnis kuliner. Membuka rumah makan, dengan menu sederhana.

Jika naik sedikit dari Cartil, kita bisa menemukan bukit bintang. Ditandai dengan satu bangunan berbentuk bintang yang dihiasi dengan lampu-lampu. Tidak seperti di Cartil, di bukit bintang ini hanya ada satu café saja. Akrab disebut dengan Café bukit moko.

Yah, itu dia sepenggal kenangan saya di kota Bandung, tempat saya mengenyam pendidikan dahulu.
Jagung  bakar yang kami pesan kini sudah terhidang di depan mata. Rasanya memang maknyus, jagung yang dipilih tidak terlalu tua, dan bumbu yang digunakan betul-betul meresap hingga ke dalam. Jika saja kami tidak berniat makan malam, mungkin saya sudah memesan satu porsi lagi. Bagaimana tidak? Bumbunya betul-betul meleleh di lidah. Nyam nyam!
Karena handphone saya yang tidak memadai, saya tidak megabadikan momen apapun di sini. Yah, cukuplah tersimpan di ingatan saya saja. Dan lain kali, jika ke Yogya lagi, saya pasti masih ingat jalan ke sini J

Sesi bukit bintang ditutup setelah kami menikmati makan malam bermenu mewah namun relative murah itu. Sesi berikutnya adalah Zero Kilometer! Zero kilometer Yogyakarta ini, terletak di dekat monument serangan umum satu maret, yaitu di lintasan antara Alun-alun Utara hingga Ngejaman di ujung selatan Malioboro. Mitosnya, jika kamu menginjakkan kaki di zero kilometer, biasanya kamu akan kembali lagi kesana. Who knows?

Hal yang menarik dari tempat ini, adalah hiburan-hiburan kreatif yang berderet di sepanjang jalannya. Salah satunya adalah berfoto menggunakan papan-papan yang sudah diberi kata-kata kocak seperti ini.
Zero Kilometer
Atau berfoto dengan binatang seperti ular, burung hantu dan lainnya.
Di seberang monument serangan umum satu maret, terdapat beberapa toko buku murah. Memang, buku-buku ini adalah cetakan palsu. Saya coba membeli 2 buku, ternyata cetakannya seperti ini.

Buku Bajakan :P
Karena lelah yang sudah mendera sekujur tubuh, kamipun memutuskan untuk kembali ke rumah. Sesi hari itu ditutup.

Hari berikutnya, kami sengaja berangkat lebih pagi. Rencana awal, adalah berburu sunrise di bukit Punthuk Setumbu. Konon katanya, dari bukit ini kamu bisa melihat matahari terbit dari pucuk-pucuk candi Borobudur. Akan tetapi, karena bangun kesiangan, akhirnya kami baru berangkat pukul setengah 6, dan tiba di candi Borobudur sekitar pukul 7 pagi. Candi yang juga adalah tempat beribadah umat budha ini sebetulnya sudah bukan lagi termasuk wilayah Yogyakarta, melainkan Magelang.
Jika ingin berkunjung ke candi ini, pilihlah waktu sepagi mungkin. Kalau bisa jangan terlalu lama setelah pintu masuk dibuka, yaitu sekitar pukul 7.30. Pertama, belum begitu ramai, dan kedua, belum begitu panas.

Candi Borobudur

Sebelum naik, kalian akan mendapati pos yang menyediakan ‘sarung’ yang digunakan untuk masuk ke candi. Ingat, bahwa candi ini juga adalah tempat beribadah bagi umat hindu. Oleh sebab itu, bagi yang menggunakan pakaian minim, yaitu di atas dengkul, dan atau terbuka, wajib mengenakan sarung ini.
Sebetulnya, saya juga ingin sekali menggunakan pakaian khas ini, akan tetapi petugas tidak membolehkan. Katanya, sarung ini hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang saya sebutkan di atas. Yah, sayang sekali. Kamipun langsung naik ke candi.

Jika ingin mengambil spot yang bagus, lebih baik menjelajah candi dari lantai teratas (lantai 6) lalu turun ke bawah. Salah satu spot yang menarik dari atas candi ini adalah berlatar belakang gunung merapi. Sayangnya, jika matahari sudah mulai tinggi, spot ini agak sulit diambil.

Siluet Merapi dari Puncak Borobudur
Kami menghabiskan waktu sekitar 2 jam di dalam candi. Mengitari setiap lantai, mengambil foto di sekitar stupa. Setelah turun, kami beristirahat sejenak di salah satu warung minuman di dekat pasar. Harga di sini relative murah, termasuk harga souvenirnya. Pun jika dibandingkan dengan Candi Prambanan.

Dari Candi Borobudur, sebetulnya kami hendak ke Ketep Pas. Dari teman, saya tahu bahwa di ketep pas ini, kita bisa mengamati gunung merapi, dari jarak dekat. Sayangnya, tidak satupun di antara kami yang hapal jalan ke sana. Alhasil, kami salah jalan dan terpaksa kembali ke rumah untuk istirahat sejenak.

Pukul 14.00 siang, kami berangkat lagi menuju Candi Prambanan. Candi yang disandingkan dengan Candi Ratu Boko ini terletak di jalan lintas Yogyakarta - Solo. Candi Ratu Boko banyak dikunjungi oleh wisatawan yang berburu sunset. Bentuknya yang hanya selembar bangunan tipis, dan letaknya yang berada di atas bukit membuat candi ini sangat menarik untuk diabadikan di dalam foto.

Kami tiba di Candi Prambanan sekitar pukul 3 sore. Berbeda dengan candi Borobudur, candi Prambanan adalah persembahan umat hindu untuk tiga dewa utama hindu, yaitu Brahma, Siwa dan Wisnu. Beberapa candi yang dapat ditemukan di kawasan ini yaitu candi Siwa, yang terletak di tengah dan bangunannya paling tinggi, lalu Candi Brahma dan Wishnu, candi  Wahana, Candi Apit, Candi Kelir, Candi Patok, Perwara dan lainnya.
Candi Prambanan


Candi Siwa


Entah Candi Brahma/Wishnu



Candi Apit



Candi Kelir


Belum puas mengitari candi, tiba-tiba hujan deras turun. Tidak mungkin menjelajah candi dalam kondisi hujan juga gelap begini. Akhirnya, kami memutuskan untuk berteduh di salah satu bangunan candi. Di sini, lagi-lagi saya bersyukur karena menjadi orang yang tidak tahu malu dan blak-blakan. Karena sifat saya itu, saya mengenal mereka, Fabio dan Barg.

Barg, Saya, Ihat, Opik, Fabio

Awalnya, saya hanya menjadi translator dadakan untuk teman saya yang penasaran. Teman-teman saya di sisi kiri, Fabio dan Barg di sisi kanan. Saya menanyakan pertanyaan teman saya, dan mereka menjawabnya. Lama kelamaan, sayapun tertarik pada mereka. Ehm ,tertarik untuk memulai obrolan maksudnya. Jadi, mulailah saya melempar beberapa pertanyaan. Teman saya tiba-tiba luput dari pendengaran saya :P

Ternyata mereka ramah juga. Fabio yang merupakan penduduk Italia cenderung meriah dan cerewet, sementara Barg dramatic. Barg sempat membuat pengandaian tentang hujan yang sedang turun waktu itu. Katanya, ia suka mengamati hujan, mengamati langit yang tiba-tiba gelap dan rintik-rintik hujan yang berjatuhan. Serasa langit tengah runtuh dan jatuh dalam bentuk puing-puing hujan. Sepertinya dia tipikal yang diam-diam menghanyutkan.

Berbeda dengan Fabio, sepertinya dia tipikal mood booster, selalu menjadi penceria suasana. Awalnya saya dimintai untuk membuat video berisi kata-kata selamat untuk adiknya yang baru saja diterima bekerja di Google (Oh Men! Google!), lalu kami berfoto dan bertukar alamat facebook dan email.

Saya tidak tahu banyak tentang Barg setelah hari itu. Ketika membuat tulisan ini, saya baru sadar bahwa saya lupa meminta alamat emailnya. Tapi, yang saya tahu, mereka adalah “suddenly friend” yang bertemu di pesawat. Sama dengan saya dan teman saya yang baru kenal ketika menginjakkan kaki di Kota Yogya.

Bagi saya, adalah hal yang menyenangkan bisa mengenal mereka. Orang-orang yang akan selalu mengingat siapapun yang ditemuinya di perjalanan. Mereka tidak enggan berbagi informasi, share pengalaman berharga, kesenangan, yang mereka dapatkan di sepanjang perjalanan. Salam kenal Fabio, salam kenal Barg. Sampai jumpa di lain kesempatan J

Perjalanan berakhir di situ. Hujan yang turun deras hingga sore membuat kami terpaksa membatalkan rencana ke Candi Ratu Boko. Jujur saja, saya sangat kecewa. Pertama, karena perjalanan saya tidak mulus dari awal. Lalu, banyak tempat yang batal saya kunjungi.

Tapi, setelah dipikir ulang. Saya mendapatkan banyak pengalaman yang lebih bermanfaat. Saya bertemu orang-orang baik, yang merelakan waktunya untuk menemani saya ke setiap ujung kota Yogyakarta. Teman-teman baru dari Negara lain, yang membuka pengetahuan saya mengenai apa yang ada di luaran sana. Bagi saya, itu jauh lebih dari kata cukup.

Penutupan yang manis saya peroleh di hari berikutnya. Saya diajak jalan-jalan ke pantai Gunung Kidul, pantai yang sangat terkenal karena keelokannya. Bang Arza, teman satu daerah yang tidak pernah saya kenal sebelumnya. Dudi, yang setelah tamat SMP tidak pernah bertemu, tiba-tiba bertemu di sini. Dan Dendi yang terakhir kali bertemu dengan saya masih berwujud anak-anak. Mereka mengenalkan saya pada panti Ngobaran, Pantai Nguyahan dan Gesing.

Pantai Nguyahan
Pantai Ngobaran

Pantai Ngobaran

Pantai Ngobaran

Pantai Nelayan, Pantai Gesing


Kata Bang Arza, jangan datang ke Yogya, atau kamu akan dibuat rindu untuk kembali ke sana. Kenyatannya, saya sudah dibuat rindu, bahkan sebelum meninggalkan kota impian saya ini. Thank you Yogya J

Sabtu, 09 April 2016

Kelayapan ke UI

Tema jalan-jalan saya hari ini sebenarnya adalah melarikan diri, dari perasaan kesal, marah dan kecewa saya.

Awalnya saya berencana untuk mendaki gunung Gede Pangrango hari ini, 9 April 2016. Tapi dikarenakan ulah saya sendiri, rencana yang sudah disusun sejak 2 bulan terakhir itu gagal total. Saya tidak bisa berangkat akibat kaki kanan saya yang cedera ketika lari-lari gak jelas dan keseleo di acara Outing perusahaan 3 minggu lalu. Man! Sudah 3 minggu dan belum sembuh-sembuh!

Okay, saya memang sudah bisa jalan dengan sangat baik bahkan lari-lari. Tapi untuk jalan jauh dan nginjek-nginjek -bahasa saya untuk mendaki dan menumpukan berat badan di kaki- pergelangan kaki saya masih sering nyut-nyutan. Jadi, meskipun harus “menangis semalam”, akhirnya dengan berat hati sayapun mengundurkan diri.

Tapi, diam di kamar kosan yang ukurannya cuma 2x2 melototin laptop tapi pikiran saya terus ngebayangin “sedang apa dan dimana” anggota tim saya saat ini, rasanya sayapun bisa depresi. Jadi, saya putuskanlah kelayapan ke Kota Depok untuk sekedar mampir di “sarang” mahasiswa-mahasiswa kelas wahit seantero nusantara, maksud saya di Perpustakaan Universitas Indonesia, hehehe.
Sabtu adalah waktunya saya hibernasi. Setelah senin sampai jum’at mencurangi jam tidur, biasanya pada hari sabtu saya cuma bangun sebentar buat sholat subuh, trus nemplok lagi di bantal sampai jam 9 atau kadang bablas sampe jam 10, duh!

Jadi, sebelum saya beranjak tidur tadi malam, saya sempatkan dulu men-jarkom teman-teman kosan yang pasti bangun pagi. Supaya saya dibangunin dan bisa berangkat ke Depok sesuai waktu yang direncanakan.

Yap, saya berhasil bangun pagi! Tapi, setelah masak trus beres-beres, trus baca-baca buku, akhirnya saya baru berangkat jam 8, jiaaaah kesiangan juga jadinya!

Pukul 08.40, saya baru naik kereta. Di perjalanan menuju stasiun akhir, stasiun Bogor, penumpang sudah mulai terlihat ramai, meski tidak padat.

Jika berangkat dari Stasiun Pasar Senen seperti saya, kamu cukup beli tiket di loket, nunggu di peron 6, duduk manis di kereta, dan turun di Stasiun Universitas Indonesia, gak perlu transit-transit. Perjalanan memakan waktu kurang lebih 75-90 menit. Oiya, ditambah harga garansi e-tiket kereta, kamu cukup membayar 13 ribu untuk sampai di stasiun Universitas Indonesia. Letaknya tepat setelah stasiun Lenteng Agung dan stasiun Univ. Pancasila.

Tips khusus buat kamu yang bawa motor, lebih baik titipkan motor di area parkir luar stasiun kalau kamu gak mau dompetmu melempem tiba-tiba! Karena, penitipan motor di area stasiun Pasar senen ini akan memakan biaya 3 ribu perak/ jam-nya with No discount!

Sementara kalau di parkiran luar stasiun, kamu cuma perlu bayar 3 ribu sampai maghrib, dan 5 ribu/ malam.

Taraaa.. stasiun Universitas Indonesia 






Ini adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di area kampus UI. Jadi, saya agak kebingungan menentukan destinasi sewaktu sampai di sana. Ditambah ini adalah perjalanan melarikan diri, jadi mana saya tau di UI ada apa saja buat dikunjungi?

Oke, setidaknya saya sudah punya agenda mengunjungi perpustakaan, kalau-kalau mentok gak tau mau mampir di fakultas yang mana.

Seperti halnya di Universitas Andalas-universitas ternama di tanah kelahiran saya, di Universitas Indonesia pun disediakan shuttle bus yang pasti akan berhenti di setiap halte.       



Menurut perhitungan saya, di dalam terdapat 38 kursi dengan susunan 16 kiri-16 kanan saling berhadapan, plus 5 di bagian belakang yang menghadap ke depan, dan satu supir. Bus ini nyaman, ber-AC dan bersih.

Hal yang sangat saya sukai dari rona kampus, adalah riuh suasana kampus tidak pernah terasa bising. Seberapapun berisiknya, seberapapun sibuknya, muka-muka yang ada di sana adalah muka-muka penuh semangat dan gelak tawa.

Saya suka melihat mahasiswa yang duduk berkelompok sembari membawa buku atau kertas-kertas soal, duduk di taman kampus atau ngemper ala kadarnya. Saya suka melihat mereka yang saling membagi pengetahuannya, mereka yang saling peduli satu sama lainnya. Atau mereka yang memanfaatkan sela waktunya untuk mengembangkan minat, seperti bermain musik atau beladiri.

Eksplorasi saya berkisar antara bus dan lokasi perpustakaan saja. Sempat terpikir untuk mampir di fakultas ekonomi yang katanya dilengkapi jembatan merah , mahakarya alumnus arsitektur UI ini. Tapi ya, lagi-lagi Cuma rencana doang, hehehe.



Perpustakaan Universitas Indonesia


 Saya rasa, saya turun terlalu jauh dari Perpustakaan umum UI ini. Ketika saya melihat ada danau, alarm di otak saya langsung bunyi “ini perpustakaan-nya, turun sekarang atau kamu bakal kelewatan”. Jadilah saya turun di depan palang “Balai Rung, Balai Sidang, etc” tepat di depan gedung Balai Rung. Saya masih harus berjalan kaki mengitari setengah danau.

Saya sengaja jalan agak memutar, di samping ingin melihat-lihat, ada suara musik yang saya pikir adalah musik pertunjukan barongsai atau sejenisnya. Tapi, setelah saya dekati ternyata mereka-mereka ini yang sedang latihan

Mahasiswa sedang berlatih musik


Area kampus menurut penilaian saya, sangat rapi, bersih dan cukup tertib. Sempat saya bertemu dengan ibu-ibu penjual air mineral.

“Kalau mereka sampai berhenti dan turun, saya harus lari secepat-cepatnya atau mereka pasti akan buru sampai dapat” tutur beliau sambil menunjuk mobil patroli.

Yah, kebijakan memang selalu punya dua sisi.

Baik, sebelum masuk ke perpustakaan, saya sempatkan berkeliling area gedung dan melihat-lihat. Ternyata, ada toko buku juga di sana, selain menjual buku fiksi dan nonfiksi populer,ensiklopedia, DVD, ternyata ada tatto juga! Kayaknya sih yaa...

Jumat, 22 Januari 2016