Selasa, 07 Juni 2016

Yogyakarta, Mei 2016


Mei 2016 dibuka dengan liburan panjang di minggu pertamanya. Hari besar keagamaan yang jatuh di hari kamis dan jum’at menjadikan minggu itu sebagai sasaran empuk jadwal wisata ke berbagai daerah di seantero Indonesia.

Indonesia tengah ramai, dengan kendaraan-kendaraan yang memuat para wisatawan. Pesawat, kereta, dan bus, bahkan banyak juga yang menggunakan sepeda motor. Turis local maupun asing, berbaur dalam agenda yang sama, mengeksplor keindahan negeri Indonesia.

Saya juga. Rencana bertandang ke kota Yogyakarta memang tergolong dadakan. Hasilnya, saya sudah kehabisan tiket baik kereta maupun bus. Pesawat? Bukan pilihan untuk perjalanan jarak dekat tapi popular seperti Yogyakarta.

Yogyakarta memang sudah tenar dari zaman dahulu. Tapi, pembuatan film AADC yang berlokasi di beberapa tempat wisata di daerah istimewa ini, memicu minat wisatawan, yang kebanyakan adalah muda mudi untuk melihat langsung dan mengabadikan momennya masing-masing di sana.

Di malam keberangkatan, saya juga sempat dibuat kesal. Bus yang dijadwalkan berangkat pada pukul 8, ngaret sampai pukul 11 malam. Ya, macetnya Jakarta menjadi kendala sendiri. Tambah lagi, bus yang saya tumpangi adalah bus pariwisata, atau bus tembak.

Tapi, ada hikmahnya juga. Sembari menunggu bus, saya sempat berkenalan dengan beberapa calon penumpang, dengan tujuan yang sama dan ada juga yang berbeda. Sempat bertukar informasi dan bertukar kontak juga. Pemandangan lain yang mengusik saya, adalah beberapa rombongan yang memanggul carrier berbagai ukuran. Para pendaki itu membuat saya cemburu, saya rindu mendaki.
Pukul 11, akhirnya bus lepas landas. Seperti yang diprediksi, jalanan macet luar biasa. Sempat beberapa kali para penumpang berjalan kaki saking penatnya di dalam bus yang tidak bisa bergerak sama sekali. Normalnya, perjalanan memakan waktu sekitar 10 jam saja. Maksimal 12 jam. Tapi, perjalanan kali ini memakan waktu 23 jam! Yuhuuu, jadwal saya hilang satu hari.
Di sekitar Brebes

Karena sudah diagendakan, keesokan harinya saya langsung berangkat lagi menuju kota Ponorogo. Kota dimana adik saya sedang menuntut ilmu di salah satu pesantren ternama di tanah air, Pesantren Gontor. Kota yang terkenal dengan reog ini, memang memiliki banyak pesantren. Di sepanjang jalan, saya melihat banyak santri dengan usia yang beragam. Ada yang sepertinya masih di sekolah menengah pertama atau sekolah menengah atas.

Saya tiba di Pesantren tepat sebelum adzan ashar berkumandang. Dan baru sempat melepas rindu sekitar pukul 4 sore. Maklum, jadwal santri memang teramat padat. Selama 18 jam di sana, jika ditotal, saya hanya bias bertemu selama 1.5 jam dengan adik saya. Selebihnya, saya hanya berkeliling atau memilih tidak kemana-mana agar tidak melewatkan jam istirahat santri yang hanya sekitar 30 menit itu saja.

Pertama bertemu, saya sempat merasa asing dengan wajah adik lelaki saya ini. Tubuhnya tinggi, gempal dengan rambut pirang yang dicukur rapi. Dia sudah dewasa. Terakhir saya bertemu, satu tahun lalu, kami masih sama tingginya. Haru saya melihatnya. Sejak kecil, dia tidak pernah manja sama sekali. Tidak pernah bertingkah yang aneh-aneh,ataupun nakal seperti anak lelaki seusianya.
Sebaliknya, ia selalu berprestasi. Untuk masuk ke pesantren nomer satu di Indonesia ini saja, dia menduduki peringkat ke – 2 terbaik, mengalahkan ribuan pedaftar lainnya. Sampai sekarangpun, prestasinya masih masuk di 3 terbaik se angkatannya. Terimakasih dek :’)

Saya pamit esok harinya. Rencana saya berikutnya adalah Goa Gong Pacitan. Kota yang merupakan tanah kelahiran presiden Indonesia yang ke-6 ini terletak di ujung barat daya Provinsi Jawa Timur. Daerahnya yang berbatasan langsung dengan samudera hindia membuat pacitan kaya dengan pantai-pantai dan gua-gua yang indah. Salah satunya adalah goa Gong, yang dinobatkan sebagai goa terindah se-Asia Tenggara.
Goa Gong


Akan tetapi, niat saya ternyata tidak kesampaian. Dari penduduk setempat saya baru tahu, ternyata untuk mencapai goa gong, dibutuhkan waktu setidaknya 3-4 jam. Sementara, jam sudah menunjukkan pukul 10 ketika saya sampai di terminal, dan saya tidak ada rencana untuk menginap.
Akhirnya, saya putuskan untuk kembali ke Yogya saja. Yah, sampai jumpa lain waktu Pacitan J
Dari ponorogo, saya harus menggunakan bus kecil ke Madiun, lalu menggunakan kereta ke Yogyakarta. Ongkos yang dikenakan sebetulnya hanya 8 ribu, untuk sampai ke terminal. Beda cerita jika ke stasiun. Aturan di sini, bus tidak boleh masuk kota. Jika masuk kota, biasanya akan dimintai ongkos lebih oleh supir, yaitu sekitar 20 ribu.
Di Madiun, saya tidak sempat berkeliling. Pertama, karena waktu mepet, kedua karena wisata di kota ini rata-rata hanya bangunan bersejarah dan museum saja.
Tugu di dekat Stasiun Madiun


Saya suka stasiun, bandara, dan terminal-jika rapi. Tempat-tempat ini, selalu memberi kesan perpisahan dan pertemuan.
Stasiun Madiun

Tempat duduk saya terletak di deretak terakhir. Di belakang deretan tempat duduk sebuah keluarga yang katanya baru saja main ke tempat saudaranya di kota Madiun. Sepasang anak kecil ini, bersepupu, usianya sekitar 6 tahunan. Yang satu sudah masuk SD yang satunya masih duduk di bangku TK.


Riska dan Naura

Sepanjang perjalanan, keduanya tak henti bercanda, bernyanyi, tertawa, saling memeluk, bahkan tidak ragu-ragu mencium. Anak sekecil itu membuat saya cemburu. Gelak tawa mereka membuat saya rindu masa kecil. Rindu sepupu-sepupu saya, rindu teman-teman saya nun jauh di tanah sumatera sana. Ah, kami tidak pernah lagi punya waktu bahkan untuk sekedar berkirim kabar saja.
Melihat saya tersenyum pada mereka. Keduanya malu-malu menyapa saya. Bertanya nama saya. Bermain-main cilukba dengan saya. Ketika keduanya bertanya nama saya, tiba-tiba si kakek – biasa nya dipanggil kakung, berkata,

“Turun, salam tantenya” kata beliau tegas. Spontan keduanya turun dan menyalami saya.
Hati saya bergetar. Tata krama seperti ini, selalu dipelihara oleh orang jawa.

***
Waktu sudah menunjukkan pukul 4 ketika saya tiba di stasiun tugu. Letak stasiun ini bersebelahan dengan Malioboro, jalan yang mejadi icon Daerah Istimewa Yogyakarta, dan juga diangkat menjadi salah satu lagu oleh Doel Sumbang, seorang artis era 80-an.

Satu hal yang wajib diketahui, kota Yogyakarta tidak menyediakan angkutan kota (angkot). Pilihan transportasi hanya berupa ojek dan andong. Jika hendak berwisata dan tidak membawa kendaraan pribadi, pilihan satu-satunya adalah menyewa kendaraan seperti sepeda motor atau mobil. Harganya variatif berdasarkan tipe dan usia motor, juga rentang waktu. Saya dikenakan 35 ribu untuk Mio keluaran 2014 selama 19 jam.

Setelah menyewa motor dan istirahat sejenak, saya ditemani seorang teman, langsung berangkat ke bukit Bintang. Bukit yang terletak di kaki gunung kidul ini ramai dikunjungi oleh wisatawan yang hendak menikmati pemandangan Yogya. Selain warung-warung makan, ada juga penjaja jagung bakar. Sebelum masuk ke warung makan, kami memutuskan untuk mampir di salah satunya.
Sembari menunggu pesanan, kami langsung mengambil posisi di pinggiran jalan yang tampaknya sengaja dibuat lebih tinggi agar dapat digunakan sebagai tempat duduk sembari menikmati pemandangan kota. Ini mengingatkan saya pada satu tempat di Kota Bandung, “Cartil”, biasa orang-orang menyebutnya.

Cartil adalah nama salah satu desa di Kota Bandung. Letaknya yang di atas bukit, membuat daerah ini dijadikan sebagai tempat wisata bagi orang-orang yang ingin melepas penat atau sejenak beristirahat dari kebisingan kota. Fakta ini lalu dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk membangun bisnis kuliner. Membuka rumah makan, dengan menu sederhana.

Jika naik sedikit dari Cartil, kita bisa menemukan bukit bintang. Ditandai dengan satu bangunan berbentuk bintang yang dihiasi dengan lampu-lampu. Tidak seperti di Cartil, di bukit bintang ini hanya ada satu café saja. Akrab disebut dengan Café bukit moko.

Yah, itu dia sepenggal kenangan saya di kota Bandung, tempat saya mengenyam pendidikan dahulu.
Jagung  bakar yang kami pesan kini sudah terhidang di depan mata. Rasanya memang maknyus, jagung yang dipilih tidak terlalu tua, dan bumbu yang digunakan betul-betul meresap hingga ke dalam. Jika saja kami tidak berniat makan malam, mungkin saya sudah memesan satu porsi lagi. Bagaimana tidak? Bumbunya betul-betul meleleh di lidah. Nyam nyam!
Karena handphone saya yang tidak memadai, saya tidak megabadikan momen apapun di sini. Yah, cukuplah tersimpan di ingatan saya saja. Dan lain kali, jika ke Yogya lagi, saya pasti masih ingat jalan ke sini J

Sesi bukit bintang ditutup setelah kami menikmati makan malam bermenu mewah namun relative murah itu. Sesi berikutnya adalah Zero Kilometer! Zero kilometer Yogyakarta ini, terletak di dekat monument serangan umum satu maret, yaitu di lintasan antara Alun-alun Utara hingga Ngejaman di ujung selatan Malioboro. Mitosnya, jika kamu menginjakkan kaki di zero kilometer, biasanya kamu akan kembali lagi kesana. Who knows?

Hal yang menarik dari tempat ini, adalah hiburan-hiburan kreatif yang berderet di sepanjang jalannya. Salah satunya adalah berfoto menggunakan papan-papan yang sudah diberi kata-kata kocak seperti ini.
Zero Kilometer
Atau berfoto dengan binatang seperti ular, burung hantu dan lainnya.
Di seberang monument serangan umum satu maret, terdapat beberapa toko buku murah. Memang, buku-buku ini adalah cetakan palsu. Saya coba membeli 2 buku, ternyata cetakannya seperti ini.

Buku Bajakan :P
Karena lelah yang sudah mendera sekujur tubuh, kamipun memutuskan untuk kembali ke rumah. Sesi hari itu ditutup.

Hari berikutnya, kami sengaja berangkat lebih pagi. Rencana awal, adalah berburu sunrise di bukit Punthuk Setumbu. Konon katanya, dari bukit ini kamu bisa melihat matahari terbit dari pucuk-pucuk candi Borobudur. Akan tetapi, karena bangun kesiangan, akhirnya kami baru berangkat pukul setengah 6, dan tiba di candi Borobudur sekitar pukul 7 pagi. Candi yang juga adalah tempat beribadah umat budha ini sebetulnya sudah bukan lagi termasuk wilayah Yogyakarta, melainkan Magelang.
Jika ingin berkunjung ke candi ini, pilihlah waktu sepagi mungkin. Kalau bisa jangan terlalu lama setelah pintu masuk dibuka, yaitu sekitar pukul 7.30. Pertama, belum begitu ramai, dan kedua, belum begitu panas.

Candi Borobudur

Sebelum naik, kalian akan mendapati pos yang menyediakan ‘sarung’ yang digunakan untuk masuk ke candi. Ingat, bahwa candi ini juga adalah tempat beribadah bagi umat hindu. Oleh sebab itu, bagi yang menggunakan pakaian minim, yaitu di atas dengkul, dan atau terbuka, wajib mengenakan sarung ini.
Sebetulnya, saya juga ingin sekali menggunakan pakaian khas ini, akan tetapi petugas tidak membolehkan. Katanya, sarung ini hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang saya sebutkan di atas. Yah, sayang sekali. Kamipun langsung naik ke candi.

Jika ingin mengambil spot yang bagus, lebih baik menjelajah candi dari lantai teratas (lantai 6) lalu turun ke bawah. Salah satu spot yang menarik dari atas candi ini adalah berlatar belakang gunung merapi. Sayangnya, jika matahari sudah mulai tinggi, spot ini agak sulit diambil.

Siluet Merapi dari Puncak Borobudur
Kami menghabiskan waktu sekitar 2 jam di dalam candi. Mengitari setiap lantai, mengambil foto di sekitar stupa. Setelah turun, kami beristirahat sejenak di salah satu warung minuman di dekat pasar. Harga di sini relative murah, termasuk harga souvenirnya. Pun jika dibandingkan dengan Candi Prambanan.

Dari Candi Borobudur, sebetulnya kami hendak ke Ketep Pas. Dari teman, saya tahu bahwa di ketep pas ini, kita bisa mengamati gunung merapi, dari jarak dekat. Sayangnya, tidak satupun di antara kami yang hapal jalan ke sana. Alhasil, kami salah jalan dan terpaksa kembali ke rumah untuk istirahat sejenak.

Pukul 14.00 siang, kami berangkat lagi menuju Candi Prambanan. Candi yang disandingkan dengan Candi Ratu Boko ini terletak di jalan lintas Yogyakarta - Solo. Candi Ratu Boko banyak dikunjungi oleh wisatawan yang berburu sunset. Bentuknya yang hanya selembar bangunan tipis, dan letaknya yang berada di atas bukit membuat candi ini sangat menarik untuk diabadikan di dalam foto.

Kami tiba di Candi Prambanan sekitar pukul 3 sore. Berbeda dengan candi Borobudur, candi Prambanan adalah persembahan umat hindu untuk tiga dewa utama hindu, yaitu Brahma, Siwa dan Wisnu. Beberapa candi yang dapat ditemukan di kawasan ini yaitu candi Siwa, yang terletak di tengah dan bangunannya paling tinggi, lalu Candi Brahma dan Wishnu, candi  Wahana, Candi Apit, Candi Kelir, Candi Patok, Perwara dan lainnya.
Candi Prambanan


Candi Siwa


Entah Candi Brahma/Wishnu



Candi Apit



Candi Kelir


Belum puas mengitari candi, tiba-tiba hujan deras turun. Tidak mungkin menjelajah candi dalam kondisi hujan juga gelap begini. Akhirnya, kami memutuskan untuk berteduh di salah satu bangunan candi. Di sini, lagi-lagi saya bersyukur karena menjadi orang yang tidak tahu malu dan blak-blakan. Karena sifat saya itu, saya mengenal mereka, Fabio dan Barg.

Barg, Saya, Ihat, Opik, Fabio

Awalnya, saya hanya menjadi translator dadakan untuk teman saya yang penasaran. Teman-teman saya di sisi kiri, Fabio dan Barg di sisi kanan. Saya menanyakan pertanyaan teman saya, dan mereka menjawabnya. Lama kelamaan, sayapun tertarik pada mereka. Ehm ,tertarik untuk memulai obrolan maksudnya. Jadi, mulailah saya melempar beberapa pertanyaan. Teman saya tiba-tiba luput dari pendengaran saya :P

Ternyata mereka ramah juga. Fabio yang merupakan penduduk Italia cenderung meriah dan cerewet, sementara Barg dramatic. Barg sempat membuat pengandaian tentang hujan yang sedang turun waktu itu. Katanya, ia suka mengamati hujan, mengamati langit yang tiba-tiba gelap dan rintik-rintik hujan yang berjatuhan. Serasa langit tengah runtuh dan jatuh dalam bentuk puing-puing hujan. Sepertinya dia tipikal yang diam-diam menghanyutkan.

Berbeda dengan Fabio, sepertinya dia tipikal mood booster, selalu menjadi penceria suasana. Awalnya saya dimintai untuk membuat video berisi kata-kata selamat untuk adiknya yang baru saja diterima bekerja di Google (Oh Men! Google!), lalu kami berfoto dan bertukar alamat facebook dan email.

Saya tidak tahu banyak tentang Barg setelah hari itu. Ketika membuat tulisan ini, saya baru sadar bahwa saya lupa meminta alamat emailnya. Tapi, yang saya tahu, mereka adalah “suddenly friend” yang bertemu di pesawat. Sama dengan saya dan teman saya yang baru kenal ketika menginjakkan kaki di Kota Yogya.

Bagi saya, adalah hal yang menyenangkan bisa mengenal mereka. Orang-orang yang akan selalu mengingat siapapun yang ditemuinya di perjalanan. Mereka tidak enggan berbagi informasi, share pengalaman berharga, kesenangan, yang mereka dapatkan di sepanjang perjalanan. Salam kenal Fabio, salam kenal Barg. Sampai jumpa di lain kesempatan J

Perjalanan berakhir di situ. Hujan yang turun deras hingga sore membuat kami terpaksa membatalkan rencana ke Candi Ratu Boko. Jujur saja, saya sangat kecewa. Pertama, karena perjalanan saya tidak mulus dari awal. Lalu, banyak tempat yang batal saya kunjungi.

Tapi, setelah dipikir ulang. Saya mendapatkan banyak pengalaman yang lebih bermanfaat. Saya bertemu orang-orang baik, yang merelakan waktunya untuk menemani saya ke setiap ujung kota Yogyakarta. Teman-teman baru dari Negara lain, yang membuka pengetahuan saya mengenai apa yang ada di luaran sana. Bagi saya, itu jauh lebih dari kata cukup.

Penutupan yang manis saya peroleh di hari berikutnya. Saya diajak jalan-jalan ke pantai Gunung Kidul, pantai yang sangat terkenal karena keelokannya. Bang Arza, teman satu daerah yang tidak pernah saya kenal sebelumnya. Dudi, yang setelah tamat SMP tidak pernah bertemu, tiba-tiba bertemu di sini. Dan Dendi yang terakhir kali bertemu dengan saya masih berwujud anak-anak. Mereka mengenalkan saya pada panti Ngobaran, Pantai Nguyahan dan Gesing.

Pantai Nguyahan
Pantai Ngobaran

Pantai Ngobaran

Pantai Ngobaran

Pantai Nelayan, Pantai Gesing


Kata Bang Arza, jangan datang ke Yogya, atau kamu akan dibuat rindu untuk kembali ke sana. Kenyatannya, saya sudah dibuat rindu, bahkan sebelum meninggalkan kota impian saya ini. Thank you Yogya J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar