Mei 2016 dibuka dengan liburan
panjang di minggu pertamanya. Hari besar keagamaan yang jatuh di hari kamis dan
jum’at menjadikan minggu itu sebagai sasaran empuk jadwal wisata ke berbagai
daerah di seantero Indonesia.
Indonesia tengah ramai, dengan kendaraan-kendaraan
yang memuat para wisatawan. Pesawat, kereta, dan bus, bahkan banyak juga yang
menggunakan sepeda motor. Turis local maupun asing, berbaur dalam agenda yang
sama, mengeksplor keindahan negeri Indonesia.
Saya juga. Rencana bertandang ke
kota Yogyakarta memang tergolong dadakan. Hasilnya, saya sudah kehabisan tiket
baik kereta maupun bus. Pesawat? Bukan pilihan untuk perjalanan jarak dekat
tapi popular seperti Yogyakarta.
Yogyakarta memang sudah tenar
dari zaman dahulu. Tapi, pembuatan film AADC yang berlokasi di beberapa tempat
wisata di daerah istimewa ini, memicu minat wisatawan, yang kebanyakan adalah
muda mudi untuk melihat langsung dan mengabadikan momennya masing-masing di
sana.
Di malam keberangkatan, saya juga
sempat dibuat kesal. Bus yang dijadwalkan berangkat pada pukul 8, ngaret sampai
pukul 11 malam. Ya, macetnya Jakarta menjadi kendala sendiri. Tambah lagi, bus
yang saya tumpangi adalah bus pariwisata, atau bus tembak.
Tapi, ada hikmahnya juga. Sembari
menunggu bus, saya sempat berkenalan dengan beberapa calon penumpang, dengan
tujuan yang sama dan ada juga yang berbeda. Sempat bertukar informasi dan
bertukar kontak juga. Pemandangan lain yang mengusik saya, adalah beberapa
rombongan yang memanggul carrier berbagai ukuran. Para pendaki itu membuat saya
cemburu, saya rindu mendaki.
Pukul 11, akhirnya bus lepas
landas. Seperti yang diprediksi, jalanan macet luar biasa. Sempat beberapa kali
para penumpang berjalan kaki saking penatnya di dalam bus yang tidak bisa
bergerak sama sekali. Normalnya, perjalanan memakan waktu sekitar 10 jam saja.
Maksimal 12 jam. Tapi, perjalanan kali ini memakan waktu 23 jam! Yuhuuu, jadwal
saya hilang satu hari.
|
Di sekitar Brebes |
Karena sudah diagendakan,
keesokan harinya saya langsung berangkat lagi menuju kota Ponorogo. Kota dimana
adik saya sedang menuntut ilmu di salah satu pesantren ternama di tanah air,
Pesantren Gontor. Kota yang terkenal dengan reog ini, memang memiliki banyak
pesantren. Di sepanjang jalan, saya melihat banyak santri dengan usia yang
beragam. Ada yang sepertinya masih di sekolah menengah pertama atau sekolah
menengah atas.
Saya tiba di Pesantren tepat
sebelum adzan ashar berkumandang. Dan baru sempat melepas rindu sekitar pukul 4
sore. Maklum, jadwal santri memang teramat padat. Selama 18 jam di sana, jika
ditotal, saya hanya bias bertemu selama 1.5 jam dengan adik saya. Selebihnya, saya
hanya berkeliling atau memilih tidak kemana-mana agar tidak melewatkan jam
istirahat santri yang hanya sekitar 30 menit itu saja.
Pertama bertemu, saya sempat merasa
asing dengan wajah adik lelaki saya ini. Tubuhnya tinggi, gempal dengan rambut
pirang yang dicukur rapi. Dia sudah dewasa. Terakhir saya bertemu, satu tahun
lalu, kami masih sama tingginya. Haru saya melihatnya. Sejak kecil, dia tidak
pernah manja sama sekali. Tidak pernah bertingkah yang aneh-aneh,ataupun nakal
seperti anak lelaki seusianya.
Sebaliknya, ia selalu berprestasi.
Untuk masuk ke pesantren nomer satu di Indonesia ini saja, dia menduduki
peringkat ke – 2 terbaik, mengalahkan ribuan pedaftar lainnya. Sampai
sekarangpun, prestasinya masih masuk di 3 terbaik se angkatannya. Terimakasih
dek :’)
Saya pamit esok harinya. Rencana
saya berikutnya adalah Goa Gong Pacitan. Kota yang merupakan tanah kelahiran
presiden Indonesia yang ke-6 ini terletak di ujung barat daya Provinsi Jawa
Timur. Daerahnya yang berbatasan langsung dengan samudera hindia membuat
pacitan kaya dengan pantai-pantai dan gua-gua yang indah. Salah satunya adalah
goa Gong, yang dinobatkan sebagai goa terindah se-Asia Tenggara.
|
Goa Gong |
Akan tetapi, niat saya ternyata
tidak kesampaian. Dari penduduk setempat saya baru tahu, ternyata untuk
mencapai goa gong, dibutuhkan waktu setidaknya 3-4 jam. Sementara, jam sudah
menunjukkan pukul 10 ketika saya sampai di terminal, dan saya tidak ada rencana
untuk menginap.
Akhirnya, saya putuskan untuk
kembali ke Yogya saja. Yah, sampai jumpa lain waktu Pacitan J
Dari ponorogo, saya harus
menggunakan bus kecil ke Madiun, lalu menggunakan kereta ke Yogyakarta. Ongkos
yang dikenakan sebetulnya hanya 8 ribu, untuk sampai ke terminal. Beda cerita
jika ke stasiun. Aturan di sini, bus tidak boleh masuk kota. Jika masuk kota,
biasanya akan dimintai ongkos lebih oleh supir, yaitu sekitar 20 ribu.
Di Madiun, saya tidak sempat
berkeliling. Pertama, karena waktu mepet, kedua karena wisata di kota ini
rata-rata hanya bangunan bersejarah dan museum saja.
|
Tugu di dekat Stasiun Madiun |
Saya suka stasiun, bandara, dan
terminal-jika rapi. Tempat-tempat ini, selalu memberi kesan perpisahan dan
pertemuan.
|
Stasiun Madiun |
Tempat duduk saya terletak di
deretak terakhir. Di belakang deretan tempat duduk sebuah keluarga yang katanya
baru saja main ke tempat saudaranya di kota Madiun. Sepasang anak kecil ini,
bersepupu, usianya sekitar 6 tahunan. Yang satu sudah masuk SD yang satunya
masih duduk di bangku TK.
|
Riska dan Naura |
Sepanjang perjalanan, keduanya tak henti bercanda,
bernyanyi, tertawa, saling memeluk, bahkan tidak ragu-ragu mencium. Anak
sekecil itu membuat saya cemburu. Gelak tawa mereka membuat saya rindu masa
kecil. Rindu sepupu-sepupu saya, rindu teman-teman saya nun jauh di tanah
sumatera sana. Ah, kami tidak pernah lagi punya waktu bahkan untuk sekedar
berkirim kabar saja.
Melihat saya tersenyum pada mereka. Keduanya malu-malu
menyapa saya. Bertanya nama saya. Bermain-main cilukba dengan saya. Ketika keduanya
bertanya nama saya, tiba-tiba si kakek – biasa nya dipanggil kakung, berkata,
“Turun, salam tantenya” kata beliau tegas. Spontan keduanya
turun dan menyalami saya.
Hati saya bergetar. Tata krama seperti ini, selalu
dipelihara oleh orang jawa.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul 4
ketika saya tiba di stasiun tugu. Letak stasiun ini bersebelahan dengan
Malioboro, jalan yang mejadi icon Daerah Istimewa Yogyakarta, dan juga diangkat
menjadi salah satu lagu oleh Doel Sumbang, seorang artis era 80-an.
Satu hal yang wajib diketahui,
kota Yogyakarta tidak menyediakan angkutan kota (angkot). Pilihan transportasi
hanya berupa ojek dan andong. Jika hendak berwisata dan tidak membawa kendaraan
pribadi, pilihan satu-satunya adalah menyewa kendaraan seperti sepeda motor
atau mobil. Harganya variatif berdasarkan tipe dan usia motor, juga rentang
waktu. Saya dikenakan 35 ribu untuk Mio keluaran 2014 selama 19 jam.
Setelah menyewa motor dan
istirahat sejenak, saya ditemani seorang teman, langsung berangkat ke bukit Bintang.
Bukit yang terletak di kaki gunung kidul ini ramai dikunjungi oleh wisatawan
yang hendak menikmati pemandangan Yogya. Selain warung-warung makan, ada juga
penjaja jagung bakar. Sebelum masuk ke warung makan, kami memutuskan untuk
mampir di salah satunya.
Sembari menunggu pesanan, kami
langsung mengambil posisi di pinggiran jalan yang tampaknya sengaja dibuat
lebih tinggi agar dapat digunakan sebagai tempat duduk sembari menikmati
pemandangan kota. Ini mengingatkan saya pada satu tempat di Kota Bandung, “Cartil”,
biasa orang-orang menyebutnya.
Cartil adalah nama salah satu
desa di Kota Bandung. Letaknya yang di atas bukit, membuat daerah ini dijadikan
sebagai tempat wisata bagi orang-orang yang ingin melepas penat atau sejenak
beristirahat dari kebisingan kota. Fakta ini lalu dimanfaatkan oleh penduduk
setempat untuk membangun bisnis kuliner. Membuka rumah makan, dengan menu
sederhana.
Jika naik sedikit dari Cartil,
kita bisa menemukan bukit bintang. Ditandai dengan satu bangunan berbentuk
bintang yang dihiasi dengan lampu-lampu. Tidak seperti di Cartil, di bukit
bintang ini hanya ada satu café saja. Akrab disebut dengan Café bukit moko.
Yah, itu dia sepenggal kenangan saya di kota Bandung, tempat
saya mengenyam pendidikan dahulu.
Jagung bakar yang kami pesan kini sudah terhidang di
depan mata. Rasanya memang maknyus, jagung yang dipilih tidak terlalu tua, dan
bumbu yang digunakan betul-betul meresap hingga ke dalam. Jika saja kami tidak
berniat makan malam, mungkin saya sudah memesan satu porsi lagi. Bagaimana
tidak? Bumbunya betul-betul meleleh di lidah. Nyam nyam!
Karena handphone saya yang tidak
memadai, saya tidak megabadikan momen apapun di sini. Yah, cukuplah tersimpan
di ingatan saya saja. Dan lain kali, jika ke Yogya lagi, saya pasti masih ingat
jalan ke sini J
Sesi bukit bintang ditutup
setelah kami menikmati makan malam bermenu mewah namun relative murah itu. Sesi
berikutnya adalah Zero Kilometer! Zero kilometer Yogyakarta ini, terletak di
dekat monument serangan umum satu maret, yaitu di lintasan antara Alun-alun
Utara hingga Ngejaman di ujung selatan Malioboro. Mitosnya, jika kamu
menginjakkan kaki di zero kilometer, biasanya kamu akan kembali lagi kesana.
Who knows?
Hal yang menarik dari tempat ini,
adalah hiburan-hiburan kreatif yang berderet di sepanjang jalannya. Salah satunya
adalah berfoto menggunakan papan-papan yang sudah diberi kata-kata kocak
seperti ini.
|
Zero Kilometer |
Atau berfoto dengan binatang seperti ular, burung hantu dan
lainnya.
Di seberang monument serangan umum satu maret, terdapat
beberapa toko buku murah. Memang, buku-buku ini adalah cetakan palsu. Saya coba
membeli 2 buku, ternyata cetakannya seperti ini.
|
Buku Bajakan :P |
Karena lelah yang sudah mendera sekujur tubuh, kamipun
memutuskan untuk kembali ke rumah. Sesi hari itu ditutup.
Hari berikutnya, kami sengaja
berangkat lebih pagi. Rencana awal, adalah berburu sunrise di bukit Punthuk
Setumbu. Konon katanya, dari bukit ini kamu bisa melihat matahari terbit dari
pucuk-pucuk candi Borobudur. Akan tetapi, karena bangun kesiangan, akhirnya
kami baru berangkat pukul setengah 6, dan tiba di candi Borobudur sekitar pukul
7 pagi. Candi yang juga adalah tempat beribadah umat budha ini sebetulnya sudah
bukan lagi termasuk wilayah Yogyakarta, melainkan Magelang.
Jika ingin berkunjung ke candi
ini, pilihlah waktu sepagi mungkin. Kalau bisa jangan terlalu lama setelah
pintu masuk dibuka, yaitu sekitar pukul 7.30. Pertama, belum begitu ramai, dan
kedua, belum begitu panas.
|
Candi Borobudur |
Sebelum naik, kalian akan
mendapati pos yang menyediakan ‘sarung’ yang digunakan untuk masuk ke candi.
Ingat, bahwa candi ini juga adalah tempat beribadah bagi umat hindu. Oleh sebab
itu, bagi yang menggunakan pakaian minim, yaitu di atas dengkul, dan atau
terbuka, wajib mengenakan sarung ini.
Sebetulnya, saya juga ingin
sekali menggunakan pakaian khas ini, akan tetapi petugas tidak membolehkan.
Katanya, sarung ini hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang saya sebutkan di
atas. Yah, sayang sekali. Kamipun langsung naik ke candi.
Jika ingin mengambil spot yang
bagus, lebih baik menjelajah candi dari lantai teratas (lantai 6) lalu turun ke
bawah. Salah satu spot yang menarik dari atas candi ini adalah berlatar
belakang gunung merapi. Sayangnya, jika matahari sudah mulai tinggi, spot ini
agak sulit diambil.
|
Siluet Merapi dari Puncak Borobudur |
Kami menghabiskan waktu sekitar 2
jam di dalam candi. Mengitari setiap lantai, mengambil foto di sekitar stupa. Setelah
turun, kami beristirahat sejenak di salah satu warung minuman di dekat pasar. Harga
di sini relative murah, termasuk harga souvenirnya. Pun jika dibandingkan dengan
Candi Prambanan.
Dari Candi Borobudur, sebetulnya kami hendak ke Ketep Pas.
Dari teman, saya tahu bahwa di ketep pas ini, kita bisa mengamati gunung
merapi, dari jarak dekat. Sayangnya, tidak satupun di antara kami yang hapal
jalan ke sana. Alhasil, kami salah jalan dan terpaksa kembali ke rumah untuk
istirahat sejenak.
Pukul 14.00 siang, kami berangkat
lagi menuju Candi Prambanan. Candi yang disandingkan dengan Candi Ratu Boko ini
terletak di jalan lintas Yogyakarta - Solo. Candi Ratu Boko banyak dikunjungi
oleh wisatawan yang berburu sunset. Bentuknya yang hanya selembar bangunan
tipis, dan letaknya yang berada di atas bukit membuat candi ini sangat menarik
untuk diabadikan di dalam foto.
Kami tiba di Candi Prambanan
sekitar pukul 3 sore. Berbeda dengan candi Borobudur, candi Prambanan adalah
persembahan umat hindu untuk tiga dewa utama hindu, yaitu Brahma, Siwa dan
Wisnu. Beberapa candi yang dapat ditemukan di kawasan ini yaitu candi Siwa,
yang terletak di tengah dan bangunannya paling tinggi, lalu Candi Brahma dan
Wishnu, candi Wahana, Candi Apit, Candi
Kelir, Candi Patok, Perwara dan lainnya.
|
Candi Prambanan |
Belum puas mengitari candi, tiba-tiba
hujan deras turun. Tidak mungkin menjelajah candi dalam kondisi hujan juga
gelap begini. Akhirnya, kami memutuskan untuk berteduh di salah satu bangunan
candi. Di sini, lagi-lagi saya bersyukur karena menjadi orang yang tidak tahu
malu dan blak-blakan. Karena sifat saya itu, saya mengenal mereka, Fabio dan
Barg.
|
Barg, Saya, Ihat, Opik, Fabio |
Awalnya, saya hanya menjadi
translator dadakan untuk teman saya yang penasaran. Teman-teman saya di sisi
kiri, Fabio dan Barg di sisi kanan. Saya menanyakan pertanyaan teman saya, dan
mereka menjawabnya. Lama kelamaan, sayapun tertarik pada mereka. Ehm ,tertarik
untuk memulai obrolan maksudnya. Jadi, mulailah saya melempar beberapa
pertanyaan. Teman saya tiba-tiba luput dari pendengaran saya :P
Ternyata mereka ramah juga. Fabio
yang merupakan penduduk Italia cenderung meriah dan cerewet, sementara Barg
dramatic. Barg sempat membuat pengandaian tentang hujan yang sedang turun waktu
itu. Katanya, ia suka mengamati hujan, mengamati langit yang tiba-tiba gelap
dan rintik-rintik hujan yang berjatuhan. Serasa langit tengah runtuh dan jatuh
dalam bentuk puing-puing hujan. Sepertinya dia tipikal yang diam-diam
menghanyutkan.
Berbeda dengan Fabio, sepertinya
dia tipikal mood booster, selalu menjadi penceria suasana. Awalnya saya
dimintai untuk membuat video berisi kata-kata selamat untuk adiknya yang baru
saja diterima bekerja di Google (Oh Men! Google!), lalu kami berfoto dan
bertukar alamat facebook dan email.
Saya tidak tahu banyak tentang
Barg setelah hari itu. Ketika membuat tulisan ini, saya baru sadar bahwa saya
lupa meminta alamat emailnya. Tapi, yang saya tahu, mereka adalah “suddenly
friend” yang bertemu di pesawat. Sama dengan saya dan teman saya yang baru
kenal ketika menginjakkan kaki di Kota Yogya.
Bagi saya, adalah hal yang
menyenangkan bisa mengenal mereka. Orang-orang yang akan selalu mengingat
siapapun yang ditemuinya di perjalanan. Mereka tidak enggan berbagi informasi,
share pengalaman berharga, kesenangan, yang mereka dapatkan di sepanjang
perjalanan. Salam kenal Fabio, salam kenal Barg. Sampai jumpa di lain
kesempatan J
Perjalanan berakhir di situ.
Hujan yang turun deras hingga sore membuat kami terpaksa membatalkan rencana ke
Candi Ratu Boko. Jujur saja, saya sangat kecewa. Pertama, karena perjalanan
saya tidak mulus dari awal. Lalu, banyak tempat yang batal saya kunjungi.
Tapi, setelah dipikir ulang. Saya
mendapatkan banyak pengalaman yang lebih bermanfaat. Saya bertemu orang-orang
baik, yang merelakan waktunya untuk menemani saya ke setiap ujung kota
Yogyakarta. Teman-teman baru dari Negara lain, yang membuka pengetahuan saya
mengenai apa yang ada di luaran sana. Bagi saya, itu jauh lebih dari kata
cukup.
Penutupan yang manis saya peroleh
di hari berikutnya. Saya diajak jalan-jalan ke pantai Gunung Kidul, pantai yang
sangat terkenal karena keelokannya. Bang Arza, teman satu daerah yang tidak
pernah saya kenal sebelumnya. Dudi, yang setelah tamat SMP tidak pernah
bertemu, tiba-tiba bertemu di sini. Dan Dendi yang terakhir kali bertemu dengan
saya masih berwujud anak-anak. Mereka mengenalkan saya pada panti Ngobaran,
Pantai Nguyahan dan Gesing.
Kata Bang Arza, jangan datang ke
Yogya, atau kamu akan dibuat rindu untuk kembali ke sana. Kenyatannya, saya
sudah dibuat rindu, bahkan sebelum meninggalkan kota impian saya ini. Thank you
Yogya J