Jumat, 20 Februari 2015

Bahagia Bersyarat

Katanya, bahagia itu milik siapa saja. Iya tidak?

Tadinya ku pikir tidak. Bahagia itu adalah milik mereka yang tidak perlu khawatir tentang besok pagi. Bahagia itu adalah milik mereka yang bisa pergi kemanapun dan kapanpun. Bahagia itu adalah milik mereka yang bisa melakukan apapun yang mereka mau. Bahagia itu bersyarat. Sementara aku, tidak punya apapun dari semua syarat itu. Jadi, apa alasannya aku bahagia?

Dia.

Malam ketika aku bertemu dengannya, adalah kali pertama aku tahu seperti apa bahagia. Dia membawa bahagia bersamanya. Tidak ada yang spesial, dia sama seperti orang-orang jalanan pada umumnya. Tapi, dia memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh kami. Wajahnya yang damai.

Tidak perlu alasan bagiku untuk selalu dekat-dekat dengannya, kecuali karena aku bisa merasakan damai. Jadilah aku selalu menguntitinya kemana pergi.

Setahun, sampai kami betul-betul dekat. Setiap hari dalam setahun, tidak ada satupun yang alfa dari cerita menyenangkan dengannya. Dia itu selalu konyol, dan kadangkala tidak masuk akal. Pernah suatu kali, dia mengajakku berkencan. Ya kencan yang romantis.

Apa yang kamu bayangkan? Bukan, dia tidak memberiku bunga atau cokelat. Tapi dia memberanikan diri berdiri di tepian sebuah kolam yang kami namakan bundaran HI.Sekuat-kuatnya, dia memekik

“AKU SAYANG KAMU!!!” lalu meceburkan diri. Apalagi selanjutnya? Petugas keamanan datang dan mengejar-ngejar kami.

Dia selalu penuh kejutan, atau menurutku dialah kejutannya. Aku ingat dia pernah bertanya,
‘dik, apaa yang kamu harapkan jika menikah?’
‘walaupun tidak mewah, aku selalu ingin pernikahanku dihadiri banyak orang.’

Dan diapun mewujudkannya.
Hari itu, dia membawaku ke suatu tempat. Tidak memberi tahu kemana dan hendak apa. Di sana ada banyak pasangan tengah memakai jas dan gaun pengantin lalu berpose di depan kamera, ternyata sebuah pameran gaun pengantin.

‘Dik, ikut perlombaan yuk? Katanya pasangan yang paling serasi akan dapat hadiah’ aku menurut saja. Jadilah kami berpose di depan kamera, bergaya layaknya sepasang pengantin yang bahagia. Aku memang bahagia, apalagi saat tiba-tiba dia mengeluarkan cincin dari sakunya.

‘Dik, aku mau kamu menjadi pasanganku. Bukan hanya hari ini, tapi sampai besok dan selamanya’

Semua orang bertepuk, riuh rendah terlebih ketika beberapa orang maju ke depan dan membantu prosesi pernikahan lainnya. Dia memberikan hadiah paling indah hari itu.

***

“Tapi dia tidak seromantis ayah, Bu.”
“Pria romantis itu banyak, tapi yang akan betul-betul menyentuh hatimu cuma satu.”
“Tapi bu, aku takut. Kami selalu bertengkar karena hal-hal sepele. Bagaimana rumah tangga kami ke depannya?”

“Hmm..anakku, ketika ada seseorang yang membuatmu sangat hidup, apapun akan kamu lakukan untuk mempertahankannya, bukan? Itu alasannya mengapa aku memilih ayahmu. Dan aku tahu, alasan yang sama berlaku untukmu.Dalam setiap pertengkaran, selalu ada kasih sayang yang melatarinya, yang perlu kalian cari tahu dimana semua bahagia itu kalian simpan. Sudah waktunya tidur anakku, besok temui dia dan bicarakan masalah kalian baik-baik” ku kecup keningnya kemudian berlalu.

Sebelum menutup pintu, ku sempatkan menatapnya sekilas.
‘Puteri kecil kita sudah menemukan bahagianya’ batinku tersenyum.

Ku temui kamu di ruangan satunya, tengah tertidur pulas. Wajah damaimu itu,  aku tidak pernah bosan memandangnya.Wajah yang ku temukan sejak 30 tahun lalu, sampai hari ini masih terlihat sama saja.


‘terimakasih sudah melengkapi syarat bahagiaku’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar