Senin, 30 Maret 2015

Bertemu

“Enjay, heeiii..”
Deg!Enjay?
Ia memutar pandangannya sejenak.
‘Enjay?Rasanya tak asing’ lalu iapun melanjutkan langkahnya pergi.
“Hei..Enjay. Kamu Enjay kan?”suara itu kini tepat di belakangnya.
“Ranu?”

Caffe itu terkesan santai. Dekorasi minimalis yang disandingkan dengan live music di tengah ruangan membuat siapapun tidak berat hati untuk sekedar mampir di salah satu sofanya. Juga Rinjay, dan Ranu, si lelaki dari masa lalu.

“Masih ingat suasana ini?” Si lelaki melempar pertanyaan basa basi.
“Tentu, masih suasana yang sama dengan tahunan lalu. Kaupun tidak berubah”
“Kau juga, masih saja memesan menu yang sama”
“Hahaha, masih ingat rupanya”
“Tidak mudah melupakan kebiasaan, Enjay”
“Asing rasanya kau memanggilku begitu.Seperti aku kembali ke masa lajangku”
“Hahaha, lucu ya? Sekarang kau sudah punya anak dan akupun akan segera menikah”

Ranu lalu mengambil sehelai undangan dari dalam ranselnya.

“Kebetulan sekali aku sedang membawa sample nya, tidak ada salahnya jika ku berikan satu”
Undangan itu berpindah tangan, dibuka lantas dibaca isinya.
“Ouh, sepertinya aku tidak bisa hadir. Kami akan pindah ke Sulawesi akhir minggu ini.”
“Oh ya? Bertepatan sekali,akupun akan menetap di Sumatera setelah pernikahanku nanti” timpal Ranu.
“Sepertinya kita memang kebetulan sekali bertemu, ya?”
Tidak ada yang menjawab. Seperti keduanya tahu, tidak ada hal yang dinamakan dengan kebetulan.
“Urusanmu sudah selesai?” Ranu beralih topik
“Ya. Kau?”
“Aku juga, bagaimana jika hari ini kita berjalan-jalan sebentar”
Where?”
No idea” si lelaki mengerling jahil ,seperti dulu, seperti biasa.

Rinjay mengerti apa yang dimaksud dengan “tidak tahu”. Artinya, mereka akan pergi kemana saja mereka bisa. Kemana saja asal mereka masih punya waktu, kemana saja asal mereka tidak bosan. Kemana saja..

“Tidak ada yang kebetulan, iya tidak?”
Rinjay tersenyum simpul. “Lalu menurutmu apa alasannya kita bisa bertemu seperti ini lagi?”
Hening.
“Enjay, aku masih punya janji.Aku akan menemuimu..”
“..saat perasaanmu dan perasaanku sudah berubah biasa saja” tanpa sadar Rinjay mengucapkan kata-kata yang sama. Spontan, keduanya terdiam dan saling melempar pandang, pandangan yang bercerita banyak.
“Jadi sekarang, akan ku ceritakan semuanya padamu. “

Tirai cahaya senja sudah mulai dibentangkan. Temaram dan hangat menjadi bumbu tersendiri bagi pertemuan keduanya. Saat Ranu mulai bercerita, satu dua butir air mata Rinjay mulai jatuh dari pelupuknya.
“Ranu, maaf..”isak Rinjay. Di depannya, Ranu tidak berani berbuat apa-apa. Ada tembok yang sejak tahunan lalu membatasi keduanya. Tembok yang menghancurkan apapun yang dulu pernah berdiri kokoh di antara keduanya. Tembok yang membuat Ranu membiarkan Rinjay menghapus sendiri air matanya sekarang.

 “Jadi, begini penutupnya ya?” ucap Rinjay lirih
“Ku rasa”
“Berarti, sudah waktunya juga ku ceritakan semuanya.”
Ranu menoleh, mencari kata-kata sambungan berikutnya. Menunggu setiap detil cerita, menyimak setiap potongannya. Sekali,untuk yang terakhir.

Rinjay mengembalikan lagi undangan bersampul rapi itu.
"Ingat tidak? Aku selalu mendorongmu untuk memulai hubungan baru setelah hubungan kita berakhir. Ketika tahu, ternyata gadis itu adalah dia, jujur saja aku merasa sakit. Ternyata, aku sendirilah yang menjauhkan kalian berdua. Menjauhkanmu dari gadis yang sudah kau cintai sebelum aku. Aku sadar bahwa kau memang masih menyukainya, jadi sejak waktu itu ku pastikan untuk betul-betul pergi"

Temaram senja sudah berganti gulita. Lampu-lampu taman sudah dinyalakan. Senyap sudah mulai bertebaran.

Sepi, tidak ada kata-kata lagi. Di bangku taman, Ranu masih duduk memandangi punggung si wanita yang sudah berjalan jauh meninggalkannya. Entah sejak kapan, rasanya wanita itu sudah pergi sangat jauh. Jauh meninggalkan hatinya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar