PUZZLE TERAKHIR
A Story By : Adoh.
Moura.
Aku merengkuh di atas
bantal persegi-ku, mengotak atik ponsel sembari memijat-mijat punggungku yang
bak ditimpa beban 100 kg.
Jam digital-ku sudah
tiba di angka 5, tapi cahaya di balik jendela selebar dindingku seperti tidak
mau ikut serta mengakhiri siang begitu saja, matahari masih terik. Di jam-jam
seperti ini aku sangat gemar duduk di sini, sebuah jendela lebar sedinding yang
mempertontonkan cahaya matahari yang malu-malu turun dari singgasananya. Di
balik tirai transaparan jendela kamarku, aku bisa menonton rona-rona merah
membuncah di kanvas cakrawala, menandakan senja sudah hampir tiba.
Malas-malas aku
memutar kursor hanya untuk melihat sudah seberapa jauh pekerjaanku sepanjang
siang tadi. Sembari meneguk sirup mangga dari gelas yang mengembun di sebelah
meja lipatku, aku mengkoreksi beberapa tanda baca sebelum akhirnya menekan icon
bergambar disket di sudut atas kiri dan icon silang di sudut berlawanan.
Beralih ke browser
“google chrome” aku memutuskan untuk menyelingkuhkan otak-ku dari makalah yang
sudah sesiang ini menganga di layar 11” itu. Sebuah tampilan dengan warna dasar
putih berhiaskan biru muncul di layar browser, facebook.
“Randa Moura(Amoura)”
, aku mulai mengacak-acak akun berusia 3 tahun ini, menjelajahi beranda dan
mengomentari status-status yang muncul di beranda.Memutar kursor ke bawah,
mengomentari, memutarnya lagi dan..
Sederet kalimat
mengejutkanku,
“Bandara International Minangkabau->Soekarno Hatta-> Wisma Asri,
Bandung”. Seperti diburu setan, tanpa ba bi bu aku membuka akun miliknya dan
membaca status-statusnya.”Mau kemana dia? Apa yang dilakukannya di
sini?”tanyaku dengan detak jantung yang menggebu-gebu.
Belum sempat aku menghela napas, status berikutnya membuatku nyaris
menjerit.
“Sampai jumpa di seminar ya”.
Aku tersedak, seminar apa yang dimaksudnya? Wisma Asri? Seminar? Itu kan…
***
Atta.
Kota ini jauh berbeda dengan kota-ku. Di Pulau
Sumatera, tidak ada kemacetan sepanjang ini apalagi teriakan klakson bus kota
yang sahut menyahut memecah gendang telinga, bising sekali. Aku baru tiba di
Kota Jakarta. Cukup sejam saja waktu-ku untuk meyakinkan tidak ada alasan untuk
tertarik tinggal di kota penuh debu seperti ini.
Elf-kami meluncur di jalan raya. Keempat
rodanya saling memacu meninggalkan senti demi senti Bandara Soekarno-Hatta,
tempat kami dijemput oleh panitia. Matahari cukup terik, September menyapa kota
ini dengan panasnya. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh badan elf. Sekitar 10
orang sedang larut dengan fantasinya masing-masing. Aku bersebelahan dengan
Nanda, peserta asal Sulawesi. Duduk di kursi sebelah supir, Lika, satu-satunya
penumpang wanita dan panitia yang menjadi guide
kami sejak tiba di Cengkareng tadi. Dari Nanda, aku tahu bahwa Lika adalah
seorang reporter Stasiun televisi swasta Kota Bandung. Untuk ukuran perkenalan
kami yang belum seumur jagung, Nanda tahu terlalu banyak tentang Lika. Seperti
laki-laki 24 tahun itu sudah mengenalnya jauh lebih dulu.
“Kira-kira kita sampai jam berapa ya?”bisikku
pada Nanda
“Umm..aku kurang tahu,tunggu sebentar”, Nanda
mengetikkan pertanyaan-ku di layar ponselnya dan send to Lika, aku semakin curiga.
“Kita akan sampai sebelum pukul 3 sore ini”
jawabnya kemudian.
“Oh baiklah, terimakasih” ucapku sembari
membiarkan Nanda kembali asik dengan sms-smsnya.
Aku merogoh ponsel-ku, melihat jam digital yang baru menunjukkan angka
13:15. Di menu facebook, aku mencari-cari nama seseorang di daftar “obrolan”,
membuka profilnya, berharap menemukan sesuatu di sana.
“belum mengertikah dia?”aku mencelus.“Touch
down Bandung, on the way to Wisma Asri” ketikku lalu mematikan internet.
Di luar jendela, jalanan membelok ke arah tol
Cipularang, menyuguhkan pemandangan baru yang lebih sepi dibandingkan
jalan-jalan kota yang kami lalui tadi. Udara AC perlahan mengusik
kenyamanan-ku. Kantuk menjalar secepat air yang merembesi helaian tisu. Aku
menyerah saja.
***
Moura.
Aku menekan bel rumah berukuran sederhana itu, untuk kedua kalinya namun
tidak ada jawaban. Gugup, kesal dan bingung, akhirnya aku menekan bel untuk
ketiga kalinya. Tepat sebelum menyentuh permukaan bel, terdengar suara pintu
dibuka dari dalam. Seorang wanita tua berbalut daster muncul di balik pintu. Tanpa
membuka utuh pintu rumahnya, si wanita tadi melempar pandangan mencela ke
arahku lalu menggumamkan sesuatu yang ku dengar sebagai, “tidak tahukah ini jam
tidur siang?”
Aku berusaha tersenyum semanis-manisnya, sembari berkata “ Maaf Bu, saya Amoura
yang tempo hari menelepon Ibu untuk wawancara…blaa blab la”
Perbincangan kami berlangsung panjang. Setelah menyuguhkan teh yang
terlalu manis, dan biskuit cokelat di hadapanku, wanita itu mulai memaparkan
beberapa jawaban skeptisnya. Tanganku bergerak jeli, mencatatkan beberapa
kalimat penting sembari menjaga ‘koneksi’-ku tidak terputus dari gambaran yang
diberikan oleh si narasumber wawancara.
Aku menutup wawancara kami dengan sempurna. Satu jam wawancara kami berakhir
tepat di pukul 3 sore. Ini wawancara-ku yang ketiga minggu ini, sekaligus juga
narasumber terakhir yang akan aku muat di dalam makalah untuk seminar-ku besok.
Aku sangat gugup, sebenarnya takut. Sudah sebulan terakhir aku
mempersiapkan topik makalah yang akan ku bawakan pada seminar besok. Sekitar 90
jurnalis akan hadir di sana, dan Atta? Ya mungkin saja dia salah satunya.
Jalanan Dago selalu riuh dengan warna-warni kota Bandung. Musisi jalanan,
muda-mudi bahkan orang tua selalu menemukan alasan unik untuk sekedar singgah
di monumen “D A G O” bercatkan merah di simpang ini.
Dari jalan Taman Sari aku sengaja membelokkan rute-ku ke Simpang Dago. Tujuanku bukan Simpang Dago,
namun bangunan yang berjarak setengah kilometer darinya, Wisma Asri. Aku memacu
sepeda motor dengan kecepatan 45 km/jam. Namun kecepatan detak jantung-ku
seperti tidak ingin kalah. Serasa berdetak 10x lebih cepat, aku semakin tidak
karuan ketika tiba di pintu wisma.
“Welcome to The National Journalist Seminar 2014”, sebuah spanduk bercorak
hijau-orange menyambut aku yang
memaku di pintu utama. Beberapa kerumunan peserta sudah nampak di anjungan
depan. Riuh redam berkenalan dengan beberapa peserta dari daerah berbeda,
tampaknya.
Aku tidak sedikitpun terusik oleh euforia di sana. Masih di depan pintu,
perang dingin berkecamuk dalam otak-ku. Hanya beberapa langkah di depan, aku
bisa menemukan nama yang ku cari dan letak kamarnya di denah. Tapi keberanianku
surut bahkan untuk mendekat satu langkah saja. Aku bisu dan lumpuh, ingatanku
seperti tidak ingin kompromi dengan memori baru si ‘masa silam’-ku itu, ku
putuskan untuk pulang saja.
***
Atta.
“Finally Banduuung..yeeee!” pekik salah seorang
peserta merenggut kantukku dalam sekejap. Elf yang ku tumpangi kini sudah
bertengger bersebelahan dengan bus peserta lainnya. Beberapa peserta sudah
turun ke halaman bangunan yang aku tebak sebagai Wisma Asri, tempat kami
menginap selama seminggu ke depan.
Aku tidak mau ketinggalan. Dengan nyawa yang belum terkumpul seutuhnya,
aku menarik ransel ke atas bahu, mendekati Nanda yang berdiri tepat di belakang
Elf, tidak ada Lika.
“Kemana guide kita?” tanyaku
pada Nanda
“Itu..”tunjuknya pada dua sosok wanita di pintu utama wisma.”ayo
kesana”
Aku berjalan di belakang Nanda, mendatangi Lika
yang sudah menunggu kami tepat di mulut Wisma. Tapi langkahku seketika terhenti
saat menyadari siapa yang ada bersamanya. Nafasku serasa hilang dalam sekejap,
jantungku berdetak berkali-kali lebih cepat, adrenalinku meningkat drastis.
“Amoura..”nama itu hilang di tenggorokanku bahkan
sebelum berhasil diucapkan. Wanita dengan jepitan yang menjumputi rambut melampaui
bahu itu sepertinya tidak sadar ada mata yang melekat dalam padanya. Mataku,
lidahku, otakku semua kehilangan keseimbangannya, bahkan untuk berteriak
memanggil 1 nama saja, namanya.
Aku membiarkan saja sosok itu berlalu di depan
kami, bahkan tanpa menoleh.
***
Moura.
“Kriing kriiing kriiiing..”alarm-ku memekik dari atas meja. Masih dalam
keadaan belum sepenuhnya sadar aku merangkak super malas-malasan lalu menekan
tombol “off”.
Matahari sudah terang di luar jendela, namun itu tidak berhasil membujukku
untuk bangun sama sekali.Kasur yang empuk,
bantal yang lucu seperti tersenyum melebarkan tangan menungguku kembali
menghampirinya.Udara pagi Bandung selalu berefek sama, kantuk yang menyerang
tanpa ampun membuatku malas bahkan untuk menarik turun selimut apalagi beranjak
ke kamar mandi.
Lima belas menit berselang, dering alarm kedua terdengar dari ponsel.
“Iyaaa..iyaaa..” aku menyerah.
Kejadian berikutnya, aku sudah meluncur di antara pengendara sepeda motor lainnya.
Dari jembatan layang, aku bisa melihat kabut masih betah berlama-lama
menyelimuti pemukiman penduduk yang ramai di kaki bukit, wajah Bandung di pagi
hari.
Aku berbelok turun dari jembatan layang tepat ketika papan penunjuk arah
menunjukkan arah Dago. Mengambil rute lurus lalu berbelok di Simpang Dago, aku
berhenti tepat di gerbang Wisma. Membelokkan arah menuju parkiran dan memilih
posisi paling nyaman untuk meninggalkan matic-ku
di sana.
Aku terkesiap saat menyadari ada sepasang mata menancap tajam melalui kaca
jendela. Darahku berdesir, saat sadar siapa pemilik mata itu. Semua buyar,
jantungku berhenti berdetak dan otakku menolak untuk berfikir, aku membeku.
Saat kudapati kembali kesadaranku, yang bisa kulakukan hanya berlari
sekencangnya.Tidak ingin menoleh, tidak ingin tahu apapun tentang orang itu.
“Dia tidak ada di sana!Itu bukan diaa..dia tidak ada di sana” ucapku
berkali-kali.
***
Atta.
Apapun yang ku dengar tentang Kota Bandung,
tidak ada yang keliru. Udaranya yang dingin, segar dan etnis yang berkembang di
dalamnya, semuanya menakjubkan. Aku merapatkan jaket sebelum beranjak turun ke
ruang makan untuk sekedar menyeruput teh hangat, sangat menggiurkan pada suhu
seperti ini.
Ruang makan sudah ramai, koridor pun masih
padat oleh para peserta yang baru tiba. Semuanya menggunakan name-tag, akupun
sama. Bersama Nanda, dan Septa-teman sekamarku, kami memilih sebuah meja paling
sudut untuk menikmati menu sarapan pagi itu, nasi kuning dengan ayam suwir
menghiasi permukaannya. Melalui kacanya yang transparan, ruangan ini
menyuguhkan pemandangan taman belakang dan juga lapangan parkir di sisi yang
berbeda.
Saat pandanganku tertuju ke lapangan parkir,
aku terkejut dengan apa yang kutemukan di sana. Seorang wanita berambut digerai
melampaui bahu, dengan jepitan menjumput beberapa helai rambutnya ke belakang.
Sweater yang meliliti lehernya yang telanjang, dan beberapa rambut ikalnya yang
terjatuh di depan telinga, gaya yang familiar. Apa kabar dia?
Entah apa yang menggerakkan kakiku, tiba-tiba aku
sudah berada sangat dekat dengan sosok itu. Hanya ada kaca jendela yang
menghalangi kami. Aku menatap selekat-lekatnya. Ada rasa yang membuncah
melampaui akal-ku yang aku tidak tahu masih normal atau tidak.
Sadar sedang diamati, wanita itu mengedarkan
pandangannya ke arahku. Matanya yang berwarna cokelat seketika terkunci dengan
mataku.Saling menatap lekat satu sama lain, tatapan kami seperti sedang
berbincang tentang sesuatu, luka lama.
Mata kami bertautan selama beberapa menit.Saat
terlepas,dia lalu berlari sekencangnya, meninggalkan aku yang masih tenggelam
dengan ratusan tanda tanya. Dia menangis.
***
Dia masih menunggu, di antara gerombolan peserta perkemahan yang tersisa,
matanya awas mencari seseorang. Dengan rok yang berlumuran lumpur dan muka yang
kusam, gadis itu tak henti mengedarkan pandangannya ke seluruh peserta yang
masih di sana.
Hiruk pikuk peserta lambat laun memudar, meninggalkan dia yang masih termangu
seorang diri.
“ Heii masih nunggu ya?” seseorang merangkul pundaknya tiba-tiba,
“eh..iiya”
“Maaf ya baru selesai briefing-nya.
Hayu pulang”
Selalu tiba-tiba, laki-laki itu tidak pernah memberinya kesempatan apapun
bahkan hanya untuk berkata iya atau tidak. Dengan mata yang masih terbelalak
kaget, gadis itu berusaha mengimbangi tubuh bagian depannya yang sudah ditarik
lebih dulu.
Malam yang sepi, tidak berarti apa-apa baginya. Satu-satunya yang dia ketahui,
malam selalu damai saat dia bersama lelaki di sebelahnya. Mereka bergandengan
di sepanjang jalan pulang.
“Amoy..bolehkah
aku bertanya sesuatu padamu?”
“Iya..bertanya
apa?”
“Saat tamat sekolah
nanti, kamu akan kuliah dimana?”
“Aku belum
tahu, yang aku tahu aku selalu tertarik dengan Pulau Jawa. Bagaimana
menurutmu?” Gadis itu menjawab lantang, bersemangat dan antusias.
“Pulau yang
bising itu? Aku tidak pernah tertarik untuk mengunjunginya”
Jawaban si lelaki entah mengapa menghisap lagi semangatnya. Mengurungkan
niat si gadis untuk bercerita bahwa dia sudah melamar semua kesempatan yang
ada. Ada kesenjangan yang merayap pelan-pelan di antara mereka, seperti
memisahkan mereka di antara dua tebing yang berbeda.
To be continued...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar