Sabtu, 16 Januari 2016

Puzzle Terakhir


PUZZLE TERAKHIR
A Story By : Adoh.
Moura.
Aku merengkuh di atas bantal persegi-ku, mengotak atik ponsel sembari memijat-mijat punggungku yang bak ditimpa beban 100 kg.
Jam digital-ku sudah tiba di angka 5, tapi cahaya di balik jendela selebar dindingku seperti tidak mau ikut serta mengakhiri siang begitu saja, matahari masih terik. Di jam-jam seperti ini aku sangat gemar duduk di sini, sebuah jendela lebar sedinding yang mempertontonkan cahaya matahari yang malu-malu turun dari singgasananya. Di balik tirai transaparan jendela kamarku, aku bisa menonton rona-rona merah membuncah di kanvas cakrawala, menandakan senja sudah hampir tiba.
Malas-malas aku memutar kursor hanya untuk melihat sudah seberapa jauh pekerjaanku sepanjang siang tadi. Sembari meneguk sirup mangga dari gelas yang mengembun di sebelah meja lipatku, aku mengkoreksi beberapa tanda baca sebelum akhirnya menekan icon bergambar disket di sudut atas kiri dan icon silang di sudut berlawanan.
Beralih ke browser “google chrome” aku memutuskan untuk menyelingkuhkan otak-ku dari makalah yang sudah sesiang ini menganga di layar 11” itu. Sebuah tampilan dengan warna dasar putih berhiaskan biru muncul di layar browser, facebook.
“Randa Moura(Amoura)” , aku mulai mengacak-acak akun berusia 3 tahun ini, menjelajahi beranda dan mengomentari status-status yang muncul di beranda.Memutar kursor ke bawah, mengomentari, memutarnya lagi dan..
Sederet kalimat mengejutkanku,
“Bandara International Minangkabau->Soekarno Hatta-> Wisma Asri, Bandung”. Seperti diburu setan, tanpa ba bi bu aku membuka akun miliknya dan membaca status-statusnya.”Mau kemana dia? Apa yang dilakukannya di sini?”tanyaku dengan detak jantung yang menggebu-gebu.
Belum sempat aku menghela napas, status berikutnya membuatku nyaris menjerit.
“Sampai jumpa di seminar ya”.
Aku tersedak, seminar apa yang dimaksudnya? Wisma Asri? Seminar? Itu kan…
***
Atta.
Kota ini jauh berbeda dengan kota-ku. Di Pulau Sumatera, tidak ada kemacetan sepanjang ini apalagi teriakan klakson bus kota yang sahut menyahut memecah gendang telinga, bising sekali. Aku baru tiba di Kota Jakarta. Cukup sejam saja waktu-ku untuk meyakinkan tidak ada alasan untuk tertarik tinggal di kota penuh debu seperti ini.
Elf-kami meluncur di jalan raya. Keempat rodanya saling memacu meninggalkan senti demi senti Bandara Soekarno-Hatta, tempat kami dijemput oleh panitia. Matahari cukup terik, September menyapa kota ini dengan panasnya. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh badan elf. Sekitar 10 orang sedang larut dengan fantasinya masing-masing. Aku bersebelahan dengan Nanda, peserta asal Sulawesi. Duduk di kursi sebelah supir, Lika, satu-satunya penumpang wanita dan panitia yang menjadi guide kami sejak tiba di Cengkareng tadi. Dari Nanda, aku tahu bahwa Lika adalah seorang reporter Stasiun televisi swasta Kota Bandung. Untuk ukuran perkenalan kami yang belum seumur jagung, Nanda tahu terlalu banyak tentang Lika. Seperti laki-laki 24 tahun itu sudah mengenalnya jauh lebih dulu.
“Kira-kira kita sampai jam berapa ya?”bisikku pada Nanda
“Umm..aku kurang tahu,tunggu sebentar”, Nanda mengetikkan pertanyaan-ku di layar ponselnya dan send to Lika, aku semakin curiga.
“Kita akan sampai sebelum pukul 3 sore ini” jawabnya kemudian.
“Oh baiklah, terimakasih” ucapku sembari membiarkan Nanda kembali asik dengan sms-smsnya.
Aku merogoh ponsel-ku, melihat jam digital yang baru menunjukkan angka 13:15. Di menu facebook, aku mencari-cari nama seseorang di daftar “obrolan”, membuka profilnya, berharap menemukan sesuatu di sana.
“belum mengertikah dia?”aku mencelus.“Touch down Bandung, on the way to Wisma Asri” ketikku lalu mematikan internet.
Di luar jendela, jalanan membelok ke arah tol Cipularang, menyuguhkan pemandangan baru yang lebih sepi dibandingkan jalan-jalan kota yang kami lalui tadi. Udara AC perlahan mengusik kenyamanan-ku. Kantuk menjalar secepat air yang merembesi helaian tisu. Aku menyerah saja.
***
Moura.
Aku menekan bel rumah berukuran sederhana itu, untuk kedua kalinya namun tidak ada jawaban. Gugup, kesal dan bingung, akhirnya aku menekan bel untuk ketiga kalinya. Tepat sebelum menyentuh permukaan bel, terdengar suara pintu dibuka dari dalam. Seorang wanita tua berbalut daster muncul di balik pintu. Tanpa membuka utuh pintu rumahnya, si wanita tadi melempar pandangan mencela ke arahku lalu menggumamkan sesuatu yang ku dengar sebagai, “tidak tahukah ini jam tidur siang?”
Aku berusaha tersenyum semanis-manisnya, sembari berkata “ Maaf Bu, saya Amoura yang tempo hari menelepon Ibu untuk wawancara…blaa blab la”
Perbincangan kami berlangsung panjang. Setelah menyuguhkan teh yang terlalu manis, dan biskuit cokelat di hadapanku, wanita itu mulai memaparkan beberapa jawaban skeptisnya. Tanganku bergerak jeli, mencatatkan beberapa kalimat penting sembari menjaga ‘koneksi’-ku tidak terputus dari gambaran yang diberikan oleh si narasumber wawancara.
Aku menutup wawancara kami dengan sempurna. Satu jam wawancara kami berakhir tepat di pukul 3 sore. Ini wawancara-ku yang ketiga minggu ini, sekaligus juga narasumber terakhir yang akan aku muat di dalam makalah untuk seminar-ku besok.
Aku sangat gugup, sebenarnya takut. Sudah sebulan terakhir aku mempersiapkan topik makalah yang akan ku bawakan pada seminar besok. Sekitar 90 jurnalis akan hadir di sana, dan Atta? Ya mungkin saja dia salah satunya.
Jalanan Dago selalu riuh dengan warna-warni kota Bandung. Musisi jalanan, muda-mudi bahkan orang tua selalu menemukan alasan unik untuk sekedar singgah di monumen “D A G O” bercatkan merah di simpang ini.
Dari jalan Taman Sari aku sengaja membelokkan rute-ku ke  Simpang Dago. Tujuanku bukan Simpang Dago, namun bangunan yang berjarak setengah kilometer darinya, Wisma Asri. Aku memacu sepeda motor dengan kecepatan 45 km/jam. Namun kecepatan detak jantung-ku seperti tidak ingin kalah. Serasa berdetak 10x lebih cepat, aku semakin tidak karuan ketika tiba di pintu wisma.
“Welcome to The National Journalist Seminar 2014”, sebuah spanduk bercorak hijau-orange menyambut aku yang memaku di pintu utama. Beberapa kerumunan peserta sudah nampak di anjungan depan. Riuh redam berkenalan dengan beberapa peserta dari daerah berbeda, tampaknya.
Aku tidak sedikitpun terusik oleh euforia di sana. Masih di depan pintu, perang dingin berkecamuk dalam otak-ku. Hanya beberapa langkah di depan, aku bisa menemukan nama yang ku cari dan letak kamarnya di denah. Tapi keberanianku surut bahkan untuk mendekat satu langkah saja. Aku bisu dan lumpuh, ingatanku seperti tidak ingin kompromi dengan memori baru si ‘masa silam’-ku itu, ku putuskan untuk pulang saja.
***
Atta.
“Finally Banduuung..yeeee!” pekik salah seorang peserta merenggut kantukku dalam sekejap. Elf yang ku tumpangi kini sudah bertengger bersebelahan dengan bus peserta lainnya. Beberapa peserta sudah turun ke halaman bangunan yang aku tebak sebagai Wisma Asri, tempat kami menginap selama seminggu ke depan.
Aku tidak mau ketinggalan. Dengan nyawa yang belum terkumpul seutuhnya, aku menarik ransel ke atas bahu, mendekati Nanda yang berdiri tepat di belakang Elf, tidak ada Lika.
“Kemana guide kita?” tanyaku pada Nanda
“Itu..”tunjuknya pada dua sosok wanita di pintu utama wisma.”ayo kesana”
Aku berjalan di belakang Nanda, mendatangi Lika yang sudah menunggu kami tepat di mulut Wisma. Tapi langkahku seketika terhenti saat menyadari siapa yang ada bersamanya. Nafasku serasa hilang dalam sekejap, jantungku berdetak berkali-kali lebih cepat, adrenalinku meningkat drastis.
“Amoura..”nama itu hilang di tenggorokanku bahkan sebelum berhasil diucapkan. Wanita dengan jepitan yang menjumputi rambut melampaui bahu itu sepertinya tidak sadar ada mata yang melekat dalam padanya. Mataku, lidahku, otakku semua kehilangan keseimbangannya, bahkan untuk berteriak memanggil 1 nama saja, namanya.
Aku membiarkan saja sosok itu berlalu di depan kami, bahkan tanpa menoleh.
***
Moura.
 “Kriing kriiing kriiiing..”alarm-ku memekik dari atas meja. Masih dalam keadaan belum sepenuhnya sadar aku merangkak super malas-malasan lalu menekan tombol “off”.
Matahari sudah terang di luar jendela, namun itu tidak berhasil membujukku untuk bangun sama sekali.Kasur yang empuk,  bantal yang lucu seperti tersenyum melebarkan tangan menungguku kembali menghampirinya.Udara pagi Bandung selalu berefek sama, kantuk yang menyerang tanpa ampun membuatku malas bahkan untuk menarik turun selimut apalagi beranjak ke kamar mandi.
Lima belas menit berselang, dering alarm kedua terdengar dari ponsel.
“Iyaaa..iyaaa..” aku menyerah.
Kejadian berikutnya, aku sudah meluncur di antara pengendara sepeda motor lainnya. Dari jembatan layang, aku bisa melihat kabut masih betah berlama-lama menyelimuti pemukiman penduduk yang ramai di kaki bukit, wajah Bandung di pagi hari.
Aku berbelok turun dari jembatan layang tepat ketika papan penunjuk arah menunjukkan arah Dago. Mengambil rute lurus lalu berbelok di Simpang Dago, aku berhenti tepat di gerbang Wisma. Membelokkan arah menuju parkiran dan memilih posisi paling nyaman untuk meninggalkan matic-ku di sana.
Aku terkesiap saat menyadari ada sepasang mata menancap tajam melalui kaca jendela. Darahku berdesir, saat sadar siapa pemilik mata itu. Semua buyar, jantungku berhenti berdetak dan otakku menolak untuk berfikir, aku membeku.
Saat kudapati kembali kesadaranku, yang bisa kulakukan hanya berlari sekencangnya.Tidak ingin menoleh, tidak ingin tahu apapun tentang orang itu.
“Dia tidak ada di sana!Itu bukan diaa..dia tidak ada di sana” ucapku berkali-kali.
***
Atta.
Apapun yang ku dengar tentang Kota Bandung, tidak ada yang keliru. Udaranya yang dingin, segar dan etnis yang berkembang di dalamnya, semuanya menakjubkan. Aku merapatkan jaket sebelum beranjak turun ke ruang makan untuk sekedar menyeruput teh hangat, sangat menggiurkan pada suhu seperti ini.
Ruang makan sudah ramai, koridor pun masih padat oleh para peserta yang baru tiba. Semuanya menggunakan name-tag, akupun sama. Bersama Nanda, dan Septa-teman sekamarku, kami memilih sebuah meja paling sudut untuk menikmati menu sarapan pagi itu, nasi kuning dengan ayam suwir menghiasi permukaannya. Melalui kacanya yang transparan, ruangan ini menyuguhkan pemandangan taman belakang dan juga lapangan parkir di sisi yang berbeda.
Saat pandanganku tertuju ke lapangan parkir, aku terkejut dengan apa yang kutemukan di sana. Seorang wanita berambut digerai melampaui bahu, dengan jepitan menjumput beberapa helai rambutnya ke belakang. Sweater yang meliliti lehernya yang telanjang, dan beberapa rambut ikalnya yang terjatuh di depan telinga, gaya yang familiar. Apa kabar dia?
Entah apa yang menggerakkan kakiku, tiba-tiba aku sudah berada sangat dekat dengan sosok itu. Hanya ada kaca jendela yang menghalangi kami. Aku menatap selekat-lekatnya. Ada rasa yang membuncah melampaui akal-ku yang aku tidak tahu masih normal atau tidak.
Sadar sedang diamati, wanita itu mengedarkan pandangannya ke arahku. Matanya yang berwarna cokelat seketika terkunci dengan mataku.Saling menatap lekat satu sama lain, tatapan kami seperti sedang berbincang tentang sesuatu, luka lama.
Mata kami bertautan selama beberapa menit.Saat terlepas,dia lalu berlari sekencangnya, meninggalkan aku yang masih tenggelam dengan ratusan tanda tanya. Dia menangis.
***
Dia masih menunggu, di antara gerombolan peserta perkemahan yang tersisa, matanya awas mencari seseorang. Dengan rok yang berlumuran lumpur dan muka yang kusam, gadis itu tak henti mengedarkan pandangannya ke seluruh peserta yang masih di sana.
Hiruk pikuk peserta lambat laun memudar, meninggalkan dia yang masih termangu seorang diri.
“ Heii masih nunggu ya?” seseorang merangkul pundaknya tiba-tiba,
“eh..iiya”
“Maaf ya baru selesai briefing-nya. Hayu pulang”
Selalu tiba-tiba, laki-laki itu tidak pernah memberinya kesempatan apapun bahkan hanya untuk berkata iya atau tidak. Dengan mata yang masih terbelalak kaget, gadis itu berusaha mengimbangi tubuh bagian depannya yang sudah ditarik lebih dulu.
Malam yang sepi, tidak berarti apa-apa baginya. Satu-satunya yang dia ketahui, malam selalu damai saat dia bersama lelaki di sebelahnya. Mereka bergandengan di sepanjang jalan pulang.
“Amoy..bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?”
“Iya..bertanya apa?”
“Saat tamat sekolah nanti, kamu akan kuliah dimana?”
“Aku belum tahu, yang aku tahu aku selalu tertarik dengan Pulau Jawa. Bagaimana menurutmu?” Gadis itu menjawab lantang, bersemangat dan antusias.
“Pulau yang bising itu? Aku tidak pernah tertarik untuk mengunjunginya”

Jawaban si lelaki entah mengapa menghisap lagi semangatnya. Mengurungkan niat si gadis untuk bercerita bahwa dia sudah melamar semua kesempatan yang ada. Ada kesenjangan yang merayap pelan-pelan di antara mereka, seperti memisahkan mereka di antara dua tebing yang berbeda.

To be continued...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar