Aku tidak pernah sabar
menunggu mendung, melihat butir-butir kristal yang kemudian jatuh merayapi
kulitku yang telanjang.
“Jangan mandi hujan!”
Larangan itu sudah
rutin kudengar, setiap ibu melihatku mengintip jahil pada tirai langit yang
mulai kelabu. Tapi, bukan anak kecil seumurku rasanya jika tidak bersembunyi di
balik pintu, menunggu ibu hilang dari pandangan, lalu menghilang bersamaan
dengan daun pintu yang menutup.
“hmm..masa kecilku itu”
kenangku manis,
“Lalu apa yang kalian
lakukan di bawah hujan, Ayah?”
“Kami? Kamu tidak akan
percaya, Nak”
Aku tertegun sejenak,
membiarkan kenangan merayapi senti demi senti alam fikirku. Menghirup aroma
rindu yang perlahan merebak. Ya, aku rindu, rindu pada bau rerumputan,
rindu pada lembab tanah yang kami pijak. Waktu itu, kami akan berlarian di
tanah kosong, saling mengoper bola kecil yang kami buat dari rotan,memainkan
pelepah kelapa yang ditumpangi beberapa anak. Salah seorang di antara kami akan
menarik pangkal pelepahnya.
Bersorak-sorai saat
kecepatan mulaibertambah.
“Bolehkah aku
melakukannya suatu kali nanti, Ayah?”
Aku tersenyum, mengusap
pelan wajah kecil yang meringkuk di pahaku itu.
“Ya, tentu boleh, Nak.
Tapi kamu harus tidur sekarang. Karena aku punya lebih banyak cerita lagi
untukmu besok”
***
Aku menekur di
sebelahnya,melihat iri pada wajah damai bocah yang tengah terlelap di sebelahku
itu.Menatap wajahnya, mengingatkan aku pada wajah kecil yang hampir sama
bertahun-tahun lalu, wajahku.
“Andaikan kamu dapat
hidup dimasaku, Nak” Beberapa dekade sudah
berlalu, banyak episode kehidupan sudah berakhir. Pohon yang tumbuh pun telah
pula tumbang, berganti gedung-gedung yang tinggi menjulang, simbol perubahan
zaman. Perubahan itu menjalari semua aspek, terlalu dalam hingga merubah setiap
lapis kehidupan.
Tidak ada lagi
anak-anak yang berkejaran layang-layang, tidak ada lagi anak-anak yang bermandi
lumpur di tengah sawah, yang tertinggal hanya anak-anak yang meringkuk malas di
depan televisi,menonton serial drama atau berlomba menjagokan tokoh game yang
diperankannya.
“Ayah, pernahkah Ayah
menaiki punggung kerbau?”
“Ya, tentu. Kami
menaikinya ditengah sawah yang berlumpur milik ibuku”
“Boleh aku melakukannya
juga?”
“Tentu anakku, nanti.”
Kamu akan tersenyum
sumringah,menyamarkan guratan-guratan letih yang terurai di mukamu. Akupun
berusaha mengimbanginya, kepuasan yang terpantul dari wajah lancipmu itu.
“Andaikan kamu dapat
hidup dimasaku.Tentu kamu akan sebahagia aku.” Aku mendesah di dalam hati.
”Menaiki punggung
kerbau, merasakan licin lumpur yang lengket di permukaannya. Menarik
layang-layang dan berlarian mengejarnya, menaiki pelepah kelapa dan bergelut
diatasnya, menendang bola-bola rotan, apapun yang kamu inginkan, anakku.”
“Ayah, aku ingin duduk
di sebelahmu. Bolehkah aku turun dari kursi roda ini? “
“Tentu, Nak”
Aku meraihmu, menggeser
tiang infus yang mengaliri lengan kirimu. Aku merapikan kursi reot
kita,meletakkan bantal agar nyaman untukmu.
Aku masih ingat
kejadian pilu itu. Ketika sebuah pabrik baterai mengumumkan kebocoran limbah
yang hampir meracuni seluruh pemukiman penduduk di sekitarnya. Ibumu, dengan
kandungan delapan bulannya tidak dapat diselamatkan. Tapi nasib berpihak baik,
kamu selamat dengan leukemia yang menggerogoti seumur hidupmu.
“Tidurlah, Nak. Aku
akan memutarkan lagu kesukaanmu”
Lalu kita akan
tenggelam dalam alunan melodi, melambungkan lamunan pada batas tertinggi angan.
“Que sera sera,
whatever will bewill be. The future isn’t ours to see”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar