Rabu, 16 Desember 2015

Andai Kamu hidup di zamanku, Nak


Aku tidak pernah sabar menunggu mendung, melihat butir-butir kristal yang kemudian jatuh merayapi kulitku yang telanjang.
“Jangan mandi hujan!”
Larangan itu sudah rutin kudengar, setiap ibu melihatku mengintip jahil pada tirai langit yang mulai kelabu. Tapi, bukan anak kecil seumurku rasanya jika tidak bersembunyi di balik pintu, menunggu ibu hilang dari pandangan, lalu menghilang bersamaan dengan daun pintu yang menutup.
“hmm..masa kecilku itu” kenangku manis,
“Lalu apa yang kalian lakukan di bawah hujan, Ayah?”
“Kami? Kamu tidak akan percaya, Nak”
Aku tertegun sejenak, membiarkan kenangan merayapi senti demi senti alam fikirku. Menghirup aroma rindu yang  perlahan merebak. Ya, aku rindu, rindu pada bau rerumputan, rindu pada lembab tanah yang kami pijak. Waktu itu, kami akan berlarian di tanah kosong, saling mengoper bola kecil yang kami buat dari rotan,memainkan pelepah kelapa yang ditumpangi beberapa anak. Salah seorang di antara kami akan menarik pangkal pelepahnya. 
Bersorak-sorai saat kecepatan mulaibertambah.
“Bolehkah aku melakukannya suatu kali nanti, Ayah?”
Aku tersenyum, mengusap pelan wajah kecil yang meringkuk di pahaku itu.
“Ya, tentu boleh, Nak. Tapi kamu harus tidur sekarang. Karena aku punya lebih banyak cerita lagi untukmu besok”
***
Aku menekur di sebelahnya,melihat iri pada wajah damai bocah yang tengah terlelap di sebelahku itu.Menatap wajahnya, mengingatkan aku pada wajah kecil yang hampir sama bertahun-tahun lalu, wajahku.
“Andaikan kamu dapat hidup dimasaku, Nak” Beberapa dekade sudah berlalu, banyak episode kehidupan sudah berakhir. Pohon yang tumbuh pun telah pula tumbang, berganti gedung-gedung yang tinggi menjulang, simbol perubahan zaman. Perubahan itu menjalari semua aspek, terlalu dalam hingga merubah setiap lapis kehidupan.
Tidak ada lagi anak-anak yang berkejaran layang-layang, tidak ada lagi anak-anak yang bermandi lumpur di tengah sawah, yang tertinggal hanya anak-anak yang meringkuk malas di depan televisi,menonton serial drama atau berlomba menjagokan tokoh game yang diperankannya.
“Ayah, pernahkah Ayah menaiki punggung kerbau?”
“Ya, tentu. Kami menaikinya ditengah sawah yang berlumpur milik ibuku”
“Boleh aku melakukannya juga?”
“Tentu anakku, nanti.”
Kamu akan tersenyum sumringah,menyamarkan guratan-guratan letih yang terurai di mukamu. Akupun berusaha mengimbanginya, kepuasan yang terpantul dari wajah lancipmu itu.
“Andaikan kamu dapat hidup dimasaku.Tentu kamu akan sebahagia aku.” Aku mendesah di dalam hati.
”Menaiki punggung kerbau, merasakan licin lumpur yang lengket di permukaannya. Menarik layang-layang dan berlarian mengejarnya, menaiki pelepah kelapa dan bergelut diatasnya, menendang bola-bola rotan, apapun yang kamu inginkan, anakku.”
“Ayah, aku ingin duduk di sebelahmu. Bolehkah aku turun dari kursi roda ini? “
“Tentu, Nak”
Aku meraihmu, menggeser tiang infus yang mengaliri lengan kirimu. Aku merapikan kursi reot kita,meletakkan bantal agar nyaman untukmu.
Aku masih ingat kejadian pilu itu. Ketika sebuah pabrik baterai mengumumkan kebocoran limbah yang hampir meracuni seluruh pemukiman penduduk di sekitarnya. Ibumu, dengan kandungan delapan bulannya tidak dapat diselamatkan. Tapi nasib berpihak baik, kamu selamat dengan leukemia yang menggerogoti seumur hidupmu.
“Tidurlah, Nak. Aku akan memutarkan lagu kesukaanmu”
Lalu kita akan tenggelam dalam alunan melodi, melambungkan lamunan pada batas tertinggi angan.

“Que sera sera, whatever will bewill be. The future isn’t ours to see”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar