Sabtu, 22 Agustus 2015

Papandayan Kedua :)

Selamat ulang tahun kemerdekaan yang ke-70,merdeka!, Ayo Kerja.  Kata-kata itu seperti warna yang mencorak-i beberapa sisi Jakarta selama setengah bulan terakhir. Bagi saya, yang adalah penghuni baru kota Metropolitan ini, euforia kemerdekaan cukup terasa dari spanduk-spanduk, bendera-bendera juga hiasan ala kemerdekaan yang sengaja dipajang di jalan, gedung, toko dan tempat-tempat publik lain juga rumah-rumah warga.
Tanggal 17 jatuh tepat di hari senin. Long weekend,begitu sebutannya bagi pekerja yang hanya aktif dari senin-jum’at. Biasanya, kesempatan ini dimanfaatkan orang-orang untuk melakukan perjalanan yang cukup panjang. Termasuk saya, dan beberapa rekan kerja lainnya. Kami akan mendaki gunung papandayan.
Rencana sudah ditanam dari sebulan setengah sebelumnya. Rekan saya yang punya ide, adalah satu-satunya wanita selain saya, Bu Ria. Mulai dari waktu, alat, peserta, semua dipersiapkan se-apik-nya. Setengah bulan sebelum hari H, persiapan matang sudah. Berikut adalah rinciannya :

Foto Oleh Bu Ria 
Foto Oleh Bu Ria

NB: saya tidak punya foto rincian perlengkapan kelompok.

Untuk administrasi, kami perlu menyiapkan fotokopi KTP yang akan diserahkan pada saat mendaftar masuk. Ya, pihak pengelola pasti harus bertanggungjawab dan memastikan kami kembali dengan selamat. Walaupun Papandayan tergolong gunung yang memiliki medan yang aman, tapi prosedur tetap harus dijalankan. Rasa tanggungjawab sudah tertanam dalam-dalam.
Karena beberapa di antara kami punya teman baik yang menyewakan alat-alat camping, peralatan sudah dapat dikumpulkan seminggu sebelum hari H. Jadilah persiapan kami lebih dari kata matang. Bu Ria, si planner yang satu ini memang selalu bisa diandalkan. Two thumbs up!

Tapii...

Selalu ada hal-hal di luar dugaan. Pancaroba menggugurkan peserta satu per satu. Mulai dari Bu Ria sendiri, yang harus istirahat total sejak sehari sebelum keberangkatan, Dani dan beberapa rekan yang ikut gugur satu persatu.

Jadilah kami hanya berjumlah 4 orang, dengan saya satu-satunya perempuan, Omegosh!

Tapi rencana tetap rencana, walaupun hampir ditunda, akhirnya kamipun tetap berangkat dengan peralatan dan perbekalan melebihi cukup.
Oke, ini dia! Sabtu pagi, pukul 06.00, dengan mobil pinjaman dari kantor, kamipun sudah merayap di jalan tol. Ramai lancar arus kendaraan pagi itu. Saya lupa kira-kira pukul berapa kami tiba di Garut. Tapi saya ingat bagaimana macet meregangkan rencana kami 6 jam dari target.
Saya bukanlah orang yang detil dengan rencana. Mungkin tidak satupun dari kami. Rusaknya jembatan menuju Desa Cisurupan di kaki gunung Papandayan, betul-betul tidak ada dalam rangkaian rencana kami.

Jembatan yang konon adalah jalan utama ini, mengharuskan sistem buka tutup yang berakibat macet berjam-jam. Kamipun mencari alternatif lain. Sedikit berputar-putar, akhirnya kami mengikuti arahan penduduk lokal untuk melewati jalur Cigedug. Mulai dari penduduk lokal, pendaki gunung, dan pedagang-pedagang, juga menggunakan jalan itu sebagai jalur alternatif dari dan ke Desa cisurupan. Jadilah kami terjebak di kemacetan berikutnya.

Jalur yang berada di tengah-tengah antara Papandayan dan Cikuray ini sempat menggoyahkan niat kami. Tapi, hari yang mulai senja memupus niat dadakan tersebut, ini bukan waktu yang tepat. Pukul 5 Sore, kami tiba di alun-alun Cisurupan, sempat mampir beristirahat dan repacking di salah satu warteg pinggiran jalan.

Oiya, ini hanya sebagian pengalaman kecil yang saya alami. Ketika menikmati santap siang tapi sore waktu itu, kami sempat bertanya tentang toilet.

“Bu, toilet dimana ya?”
Si, ibu yang adalah warga asli sunda, si penjaga warteg ini, langsung menyebutkan Mesjid yang berada dekat alun-alun Cisurupan tadi, 7 kilometer di bawah kami. Sempat saya membayangkan,

“Lalu kemana orang-orang ini buang air?Rasanya kami tidak melewati sungai sepanjang perjalanan tadi”

Saya abaikan perasaan ingin tahu tadi, terlebih karena rasa lapar yang sudah mendera. Setelah selesai, saya beranikan menumpang kamar mandi. Begini bahasanya,

“Bu, saya mau pipis. Boleh menumpang kamar mandi gak ya?”
Si Ibu spontan langsung menjawab.
“Oh, di seberang ada wc neng. Eneng nyebrang saja di sebelah sana. Trus ikutin jalan, itu ada mesjid. Atau ibuk antarkan saja, yuk?”

Begitu jawabannya bertubi-tubi. Saya tersentak, “Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”, begitu bukan? Bahasa sederhananya, “jika ingin nyaman di suatu tempat, jadilah penghuninya, bukan pendatang”-Windy Ariestanty. Selaraskan dengan bahasa mereka, hanya sesederhana itu.


Tiba di area papandayan. Setelah yang muslim men-jamak sholat maghrib-isya, kamipun mulai mendaki pukul 7 malam. Berbekal Peta, senter secukupnya, tenaga sepenuhnya, kamipun melewati perjalanan sekitar 1 jam 30 menit saja.

Waktu itu, dari pengelola, kami tahu bahwa jumlah pendaki mencapai ribuan orang. Papandayan hari ini pun bukan lagi jalur pendakian yang mana pendaki harus siap fisik dan mental, melewati bukit-bukit, hutan, dan semua hal yang dipandang mengerikan oleh orang-orang awam. Papandayan hari ini sudah ramai dengan warung-warung. Sampai di sepertiga terakhir jalur pendakian pun, kami masih menemukan banyak warung dan tentu penduduk lokal. Katanya sih, di atas sana ada ladang penduduk, jadi biasa saja kalau pendaki menemukan pemotor ala gunung di perjalanan.

Pondok Saladah, tempat ini pernah berada di buku kenangan saya, dulu. Tempat ini tadinya diisukan sudah penuh, dan kami sempat disarankan untuk bermukim di Pos 2 yang kami lewati sekitar 20 menit sebelum tiba disini.

Saya kagum dengan teman saya yang satu ini, penglihatannya sedikit sulit di malam hari. Tapi saya tahu, dia cukup berusaha walaupun harus berjalan pelan.

Foto ini diambil ketika kami terpisah dari rombongan

Kami mendirikan tenda di dekat salah satu sumber air. Oiya, berbeda dengan tahun lalu, pondok saladah ini sudah dilengkapi dengan toilet, dan seperti kata saya, warung-warung.

Saya akui, saya rindu suasana ini. Larangan untuk mendaki dari orangtua menuntut saya untuk membuang jauh-jauh ‘kegilaan’ mendaki dengan teman-teman saya. Bagaimana adrenalin terpompa, bagaimana rasa dingin melanda, bagaimana cara makan seadanya, bertanggungjawab dan berbagi,ah..semua sudah jadi cerita lama.

Rasanya tidak logis saja, ketika jantung saya berdetak-detak karena ambisi untuk mencapai puncak, jantung orangtua saya justru berdetak-detak menunggu sms atau telpon yang mengatakan,”saya sudah pulang dan baik-baik saja”. Biarkan, toh Allah punya rencana-semoga Allah mengampuni kedurhakaan saya kali ini.

Saya tidak pernah menyaksikan sunrise di Gunung yang satu ini, kali inipun tidak. Setelah sarapan, mengemas 2 tenda kami, dan mengantri toilet yang cukup lama-saya sempat tertawa memikirkan kemana tisu-tisu yang berserakan di balik-balik semak atau sudut-sudut pohon itu perginya?-kami bergegas menuju puncak. Tegal Alun, dengan padang Edelweiss memesonanya tidak ada dalam agenda kami. Kami hanya mencari puncak, dan mencari jalan pintas lain menuju parkiran.

Saya katakan, saya beruntung bersama orang-orang ini. Miskin sekali jika saya melewati cerita yang sama padahal saya datang di kali yang berbeda. Jalur yang kami lewati tetap ada di peta, tapi sedikit lebih ekstrim. Kami bertemu dengan beberapa pendaki yang sempat ingin putar arah karena tidak berani dengan track yang satu ini. Jalurnya sempit, kemiringan mencapai 70 derjat. Ada bagian dimana saya harus melepas carrier dengan muatan 60 L lalu meng-estapet-kan ke pohon terdekat yang ada di tempat itu. Ada juga bagian dimana saya harus berpegangan pada tali-bukan webing- yang diikatkan di pohon untuk bisa turun.

Bagian yang mengasyikkan adalah ketika kami kehilangan tabung gas entah dimana. Seandainya dengan membawa parafin bisa menyelesaikan masalah, mungkin cerita tidak akan menjadi semenarik ini. Ketika korek yang kami bawa sama sekali tidak bisa digunakan, ketika kami harus berseru-seru ala gunung untuk memanggil pendaki lain yang mungkin ada di sekitar sana. Ketika satu parafin habis dan masakan kami masih ‘amis’ lalu kami harus berseru-seru lagi. Saya betul-betul terkesima, bagaimana cerita kali ini bisa jadi berbeda.

Selamat Hari Kemerdekaan!
Dari kiri ke kanan Pak Lintong, saya, Pak Hazmi, Pak Bowo


Hutan Mati
Persahabatan adalah warna lain dari Setiap Pendakian
Saya lupa namanya

Hutan Mati juga

Di Jalan ke Puncak




Tidak ada komentar:

Posting Komentar