‘Apa yang kau ketahui tahu tentang
Cinta Sejati?’ aku pernah bertanya seperti itu padamu.
Tapi kau selalu
tersenyum, lalu mengecup keningku. Dan kita akan berjalan lagi di pinggiran
jalan raya, membiarkan riuh redam irama jalanan melantun sesukanya. Yang pasti,
kita punya nada sendiri yang melantun hanya di telinga kita.
‘Mengapa kau datang
ke kota ini?’ aku juga pernah bertanya itu.
‘untuk bertemu
takdirku menemanimu.’
Seperti itu kata-katamu. Selalu semua itu diiringi irama
jalan raya di dekat tempat tinggal kita.Setiap malam kau
akan berbaring di sebelahku. Membelai
rambutku sampai aku tertidur.
Kau akan berbisik,
‘cinta sejatiku adalah kamu’. Itu akan cukup menjadi cerita penghantar tidur yang membuatku nyenyak
semalam suntuk. Saat aku bangun, kau selalu sudah duduk di sebelahku.
Lalu, besoknya kita
akan menghabiskan hari lagi bersama-sama. Satu hari, dua hari, seminggu sampai
sudah berbulan-bulan sejak kita menikah. Pernikahan yang hanya dihadiri kurang
dari jumlah jari tangan. Tapi aku tidak peduli, dan kau pun tidak.
Katamu ‘Tidak perlu
banyak tamu, kebahagianku sudah lebih banyak untuk memenuhi tempat ini.’
Itu puisi di
telingaku. Setelah hidup bertahun-tahun di bagian paling kumuh jalan raya ini.
Bulan madu kita?
Sampai hari ini kita masih berbulan madu menurutku. Ketika kau gendong aku di
punggungmu, dan aku menunjuki jalan mana yang harus kita lewati. Karena katamu,
matamu adalah aku. Seperti kau yang selalu menjadi jejak kakiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar