Tidak jelas sejak kapan kita berkenalan.
Setahuku, kau sudah ada sejak aku masih baru bisa mengeja. Kau temanku
satu-satunya. Aku hanya tahu, orang-orang akan memandang aneh padaku, pada
kita.
Mama senang sekali melihatku bersamamu. Tapi
papa tidak, matanya geram melihat kau berada di dekatku. Papa tidak pernah
mengerti, aku tahu. Selalu mama yang mencegatnya jika papa mulai bertingkah
aneh hendak melerai kita berdua.
Aku tidak punya teman lain, cuma kamu.
Menurutku pun cukup kita saja, tidak perlu orang ketiga. Omong-omong, kita
sudah dewasa. Sudah masuk SMA sekarang. Aku tumbuh seperti seorang lelaki, memang seharusnya
bukan? Tapi jangan bilang seperti papa, karena papa tidak
pernah mau disebut mirip denganku.
“Ma, kenapa papa selalu begitu?”
Aku bosan menunggu papa mengerti,seperti bosa melihat
orang-orang yang selalu melempar pandangan aneh pada kita berdua. Lama-lama, aku
bertanya juga.
‘Apa yang salah?’
Penasaran, aku bertanya pada salah seorang
teman sekelas kita. Katanya, aku harus menjauh darimu.
Maafkan aku, aku cuma ingin tahu. Jadi, hari
ini ku coba menjauhimu sedikit. Aku berjalan sendirian, tidak menyapamu. Sekali lagi maafkan aku,
aku hanya ingin tahu.
Hanya satu hari saja, ku coba menjauh darimu.
Aku berhasil membuat mereka memandang takjub padaku. Mereka mendekatiku,
mengajakku ke kantin, mengajakku mengobrol. Hei, aku senang!
Tapi, dalam hati aku tetap tidak bisa lepas
darimu. Sepulang sekolah, aku berlari-lari mencarimu. Di kamar, biasaya aku selalu bisa menemukanmu. Tapi hari ini hanya ada aku sendiri di sana, di dalam cermin.Mengenakan seragam SMA lengan pendek dan celana panjang.
Bukan lagi seragam SMA
lengan panjang dengan rok selutut. Ya, aku tampil seperti seorang laki-laki
hari ini. Aku bangga sebetulnya, tapi bagaimana caranya aku lepas darimu? Kau
sudah terlalu lama lekat padaku, sisi perempuanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar